Senin, 29 Mei 2017
SUKU ENGGANO
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Pulau Enggano adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di samudra Hindia dan berbatasan dengan negara India. Pulau Enggano ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah
Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, dan merupakan satu kecamatan.
Pulau ini berada di sebelah barat daya dari kota Bengkulu dengan koordinat 05°
23′ 21″ LS, 102° 24′ 40″ BT.
Laporan pertama mengenai pulau ini berdasarkan catatan
Cornelis de Houtman yang mengunjungi pulau ini tanggal 5 Juni 1596.[1]. Tidak diketahui dari mana de
Houtman mengetahui nama pulau ini, yang dalam bahasa Portugis, engano,
berarti “kecewa”.
Penduduk asli Pulau Enggano adalah suku Enggano, yang terbagi menjadi lima puak asli (penduduk setempat menyebutnya suku). Semuanya
berbahasa sama, bahasa Enggano. Suku atau Puak Kauno yang mulai menempati tempat
ini pada zaman Belanda (sekitar tahun 1934). Selain Suku Kauno, terdapat Suku Banten (pendatang), dan empat suku
lainnya. Penduduk dari pulau dengan luas 40,2 hektare ini rata-rata hidup dari perkebunan
kakao yang hasilnya dijual ke Kota Bengkulu.
Di Enggano terdapat lima Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang
terletak di desa Apoho, Banjar Sari, Ka’ana, Meok dan Kayaapu.
1.2 Tujuan Penulisan
- Mengenal keanekaragaman budaya bangsa
- menimbulkan rasa bangga dan memiliki terhadap asset kebudayaan bangsa
- untuk lebih mengenal suku pedalaman Bengkulu Utara
- salah satu upaya menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa
1.1 Metode Penulisan
- Pengumpulan data dari sumber data yang cukup kompeten
- penyusunan data yang telah di peroleh
- pengetikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Suku Enggano
Pulau Enggano mungkin akan terdengar asing di telinga
masyarakat Indonesia. maklum saja, Pulau yang merupakan salah satu kekayaan
bumi nusantara ini memang merupakan pulau terluar di Indonesia yang terletak di
Samudra Hinda atau belahan barat pulau Sumatera.
Selain menyimpan pesona alam yang masih alami, Pulau Enggano
juga banyak menyimpan kekayaan budaya Indonesia yakni melalui Suku Enggano.
Tidak banyak memang yang mengetahui bahwa di Pulau Enggano terdapat penduduk
asli yakni suku Enggano.
Suku Enggano memang jarang terekspose oleh media mengingat
keberadaan Pulau Enggano sendiri yang memang cukup jauh. Namun
berdasarkan penelitian Pieters J Ter Keurs dari Museum Nasional Ethnologi
Belanda, Suku Enggano pertama kali dilihat oleh awwak kapal dari Portugis yang
kapalnya mendarat di pulau tersebut pada awal tahun 1500-an.
Meskipun asal-usul suku Enggano belum diketahui secara
pasti, namun masyarakat setempat mmemiliki cerita tersendiri tentang adanya
suku Enggano. Menurut leluhur setempat, suku Enggano berawal dari kisah hidup
dua pasangan manusia bernama Kimanipe dan Manipah yang merupakan manusia
pertama di pulau tersebut. Kisah mereka pun mirip layaknya kisah pasangan
manusia pertama Adam dan Hawa.
Kaminape dan Manipah pada awalnya adalah penumpang yang
terdampar dari musibah di kapal layar mereka. kapal tersebut terkena wabah penyakit
sehingga banyak yang meninggal dan hanya menyisakan mereka. Pasca peristiwa
tersebut pun, mereka melanjutkan hidupnya di Pulau Enggano dan memiliki
beberapa keturunan.
Dari hasil hubungan merekalah muncul beberapa suku yang
akhirnya menghuni Pulau Enggano yakni Kaitora, Kauno, Kaharuba, Kaahua, dan
Kaarubi. Masing-masing suku dipimpin oleh ketua suku dan kemudia membentuk
lembaga adat dengan nama ‘Kaha Yamu’y’ . Untuk berjalannya lembaga ini,
dipilihlah seorang ketua yang disebut dengan Pa’buki.
Suku Enggano menganut sistem matrilineal dengan perempuan
sebagai pewaris suku. Warisan biasanya berupa barang tidak bergerak seperti
tanah yang juga diwariskan kepada anak perempuan. Sedangkan kaum laki-laki
hanya menerima peralatan pertanian dan senjata tajam. Meskipun menganut sistem
matrilineal, kepala suku tetaplah kaum laki-laki.
Dahulu karena seringnya terjadi perang antar suku, rumah
tinggal Suku Enggano berada di puncak bukit dengan tujuan agar mudah saat
mengintai musuh. Rumahnya pun unik karena berbentuk heksagon dan bertingkat da
bernama yubuaho.
Saat ini, masyarakat suku Enggano sudah cukup berubah. Tidak
sedikit dari mereka yang bermigrasi ke Pulau Jawa atau Sumatera. Namun masih
banyak juga yang tetap menjaga nilai-nilai dan norma sosial masyarakat
setempat. Peperangan pun sudah tidak terjadi seiring dengan cara musyawarah
yang kerap dilakukan setiap adanya konflik.
Suku Enggano merupakan salah satu kekayaan kebudayaan
Indonesia. Bukan hanya menyimpan kekayaan seni budaya serta pemandangan dan
pesona alam yang luar biasa. Masyarakat Enggano merupakan masyarakat yang penuh
dengan nilai luhur dan kearifan lokal yang tetap terus dipegang sering dengan
perubahan zaman.
2.2 Budaya Masyarakat Suku
Enggano
Budaya Bengkulu memang sangatlah beragam, Salah satunya
adalah budaya suku enggano yang berdomisili di pulau Enggano, Sebuah pulau yang
masih masuk daerah Propinsi Bengkulu. Kehidupan masyarakat pulau Enggano
berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya warisan nenek moyangnya, seperti
kelompok-kelompok suku bangsa, sistem perkawinan adat, sistem kepemimpinan
tradisional, pola pemukiman tradisional dan sistem kemasyarakatan. sampai saat
ini sistem-sistem tersebut masih terpelihara, dipertahankan dan dijadikan
landasan sosial bagi kehidupan antarumat beragama.
Di pulau Enggano terdapat lima kelompok suku bangsa asli
antara lain:
Suku bangsa Kauno, Kaahoao, Kaarubi, Kaharuba dan Kaitora.
Kekerabatan suku bangsa masyarakat pulau Enggano dipertimbangkan melalui keturunan ibu (matrilineal).
Suku bangsa Kauno, Kaahoao, Kaarubi, Kaharuba dan Kaitora.
Kekerabatan suku bangsa masyarakat pulau Enggano dipertimbangkan melalui keturunan ibu (matrilineal).
Untuk membedakan penduduk suku asli dengan penduduk
pendatang, suku pendatang sering disebut dengan suku bangsa Kamaik.
Masing-masing kelompok suku bangsa dikepalai oleh kepala suku (eka’u).
Koordinator ekap’u ditunjuk oleh Paabuki.
Masing-masing kelompok suku bangsa dikepalai oleh kepala suku (eka’u).
Koordinator ekap’u ditunjuk oleh Paabuki.
2.3 Kehidupan Agama Suku
Enggano
Kehidupan keagamaan masyarakat suku-suku bangsa Enggano,
terdiri dari:
Agama Islam dan agama Kristen-Protestan, yang memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi.
Kedua agama yang besar ini hidup berdampingan secara damai dengan jiwa gotong-royong dan baik.
Sebagai contoh, pada tahun 1938 masjid pertama kali dibangun di desa Malakoni dengan nama masjid Jami’.
Pembangunan masjid Jami’ ini dikerjakan bersama-sama secara gotong-royong oleh penduduk Enggano, baik umat Islam maupun Kristen-Protestan.
Yang menjadi landasan sosial antarumat beragama adalah norma-norma hukum adat.
Agama Islam dan agama Kristen-Protestan, yang memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi.
Kedua agama yang besar ini hidup berdampingan secara damai dengan jiwa gotong-royong dan baik.
Sebagai contoh, pada tahun 1938 masjid pertama kali dibangun di desa Malakoni dengan nama masjid Jami’.
Pembangunan masjid Jami’ ini dikerjakan bersama-sama secara gotong-royong oleh penduduk Enggano, baik umat Islam maupun Kristen-Protestan.
Yang menjadi landasan sosial antarumat beragama adalah norma-norma hukum adat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
- Pulau yang merupakan salah satu kekayaan bumi nusantara ini memang merupakan pulau terluar di Indonesia yang terletak di Samudra Hinda atau belahan barat pulau Sumatera.
- Meskipun asal-usul suku Enggano belum diketahui secara pasti, namun masyarakat setempat mmemiliki cerita tersendiri tentang adanya suku Enggano. Menurut leluhur setempat, suku Enggano berawal dari kisah hidup dua pasangan manusia bernama Kimanipe dan Manipah yang merupakan manusia pertama di pulau tersebut
- Suku Enggano menganut sistem matrilineal dengan perempuan sebagai pewaris suku.
- Saat ini, masyarakat suku Enggano sudah cukup berubah. Tidak sedikit dari mereka yang bermigrasi ke Pulau Jawa atau Sumatera. Namun masih banyak juga yang tetap menjaga nilai-nilai dan norma sosial masyarakat setempat
3.2 Saran
Suku Enggano merupakan salah satu kekayaan kebudayaan
Indonesia. Bukan hanya menyimpan kekayaan seni budaya serta pemandangan dan
pesona alam yang luar biasa. Masyarakat Enggano merupakan masyarakat yang penuh
dengan nilai luhur dan kearifan lokal yang tetap terus dipegang sering dengan
perubahan zaman.
Suku enggano merupakan salahsatu dari sekian banyak suku di
Indonesia yang patut kita jaga kelestarian dan keberadaannya sebagai salahsatu
asset bangsa kita.
Makalah ini merupakan salahsatu upaya memperkenalkan
melestarikan kekayaan budaya Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://beenet215.wordpress.com/makalah-suku-enggano/
LAPORAN PENELITIAN AKHIR OBSERVASI KLENTENG BUN HAY BIO
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
2
a.
Latar Belakang
2
b.
Permasalahan
2
c.
Rencana
Kegiatan yang akan dilakukan………………………………………………………………………………………...3
BAB II
Pelaksanaan Kegiatan
a.
Deskripsi
4
b.
Sistematika Kegiatan
5
c.
Lokasi
Kegiata …………………………………………………………………..........................5
d.
Waktu
Kegiatan …………………………………………………………………………………5
e.
Pihak-pihak
yang di libatkan ……………………………………………………………………5
BAB III Penutupan……………………………………………………………………………………………..6
a.
Kesimpulan…………………………………………………………………………………....6
b.
Saran………………………………………………………………………………………......6
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….....................7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah
penganutkepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada
umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa
sering disamakan sebagai penganut agama?Konghucu,, maka klenteng dengan
sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.
Tidak ada catatan resmi bagaimana istilah
“Klenteng” ini muncul, tetapi yang pasti istilah ini hanya terdapat di
Indonesia karenanya dapat dipastikan kata ini muncul hanya dari Indonesia.
Sampai saat ini, yang lebih dipercaya sebagai asal mula kata Klenteng adalah
bunyi?teng-teng-teng?dari
lonceng di dalam klenteng sebagai bagian ritual ibadah. Klenteng juga disebut
sebagai bio
yang merupakan dialek Hokkian dari karakter (miao). Ini adalah sebutan umum bagi
klenteng di Cina.
Salah satu Klenteng yang ada di Indonesia yaitu Klenteng Boen Hay
Bio disebut sebagai wihara tertua yang ada di daerah Serpong, Tangerang. Usia
klenteng tersebut diperkirakan sudah mencapai tiga ratus tahun. Berdasarkan
penuturan pengurus, Wihara Boen Hay Bio dibuat tahun 1694 sebagai tempat ibadah
umat Budha. Tanggal 24 bulan keenam penanggalan Cina diperingati sebagai ‘hari
jadi’ klenteng. Pada saat itu, biasanya klenteng dipadati pengunjung yang
datang untuk berdoa. Ulang tahun klenteng juga kerap dimeriahkan dengan
berbagai atraksi seperti pertunjukasn barongsai, gambang kromong, hingga
pertunjukan lenong.
B. Permasalahan
Klenteng Boen Hay Bio ini tepatnya terletak di Jalan Pasar Lama Serpong
RT 014/05 Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan. Kelenteng Boen Hay Bio
merupakan klenteng tertua yang ada di daerah Serpong karena klenteng ini sudah
berusia tiga ratus tahun dan sudah sepuluh kali direnovasi.
Di bagian depan
Kelenteng Boen Hay Bio, terdapat tulisan pada gerbang yang berbunyi “Boen Hay
Bio, Vihara Karuna Jala” serta ornamen sebuah kepiting raksasa. Rupanya
kepiting dalam budaya Tionghoa dipercaya dapat melindungi kuil dan mampu
mmengusir roh-roh jahat yang bergentayangan.
Saat masuk ke
ruang utama Kelenteng Boen Hay Bio, ada lilin dan pelita minyak yang selalu
menyala, karena merupakan lambang kehidupan yang tak boleh mati. Arca naga
berukuran besar dengan detail yang elok melilit di pilar kelenteng. Kemudian
juga terdapat meja dengan ukiran naga dan burung hong indah dalam posisi
berhadapan. Di atas meja tergeletak peralatan bebunyian berusia tua yang
digunakan sebagai perlengkapan upacara sembahyang di Kelenteng.
C. Rencana
Kegiatan yang akan dilakukan
Metode observasi ini dilakukan dengan
menggunakan beberapa langkah. Yang pertama, dengan menentukan daerah mana yang
ingin diteliti. Kedua, mencari sumber informasi yang akan didapat mengenai
penelitian tersebut dengan melakukan wawancara. Ketiga, mendokumentasikan
berupa photo dan video yang berada di Klendeng Boen Hay Bio, Serpong.
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Deskripsi
Klenteng Boen Hay Bio ini merupakan salah satu klenteng tua yang
berada di kota Tangerang, satu Boen Tek Bio berada di daerah pasar lama, Bun
San Bio - Nimmala berada di daerah pasar baru dan Boen Hay Bio ini ada dilokasi
Serpong, Desa Cilenggang, Serpong.
Usia Klenteng Boen Hay Bio diperkirakan sudah mencapai 300 tahun lebih, berdiri pada 1694, berlokasi di Serpong, Tangerang. “Ada patung kepiting di gapura depannya,”. Bagian depan Klenteng Boen Hay Bio, dengan tulisan pada gerbang berbunyi “Vihara Karunayala, Boen Hay Bio Serpong”. Halaman Klenteng Boen Hay Bio ini cukup luas, dengan warung penduduk terletak di sebelah kanan depan bangunan, di bawah pohon beringin.
Untuk arsitektur Klenteng Boen Hay Bio tidak jauh beda dengan Klenteng pada umumnya dihiasi ornamen khas tanah Tiongkok. Pada bagian gerbang pintu kuil terdapat kepiting raksasa, dalam budaya Cina kepiting dipercaya dapat melindungi dan mengusir roh jahat.
Di ruang utama Klenteng, selain kedua naga besar yang melilit pilar, juga terdapat meja dengan ukiran naga dan burung hong indah dalam posisi berhadapan. Di atas meja tergeletak peralatan bebunyian berusia tua yang digunakan sebagai perlengkapan upacara sembahyang diKlenteng.
Banyak pengunjung datang ke Klenteng Boen Hay Bio untuk memuja Dewi Kwan Im yang merupakan lambang kebajikan. Hal ini sesuai dengan makna istilah Boen Hay Bio yang berarti kebajikan setinggi gunung dan sedalam lautan. Selain altar utama yang berisi patung Satya Dharma Bodhisatwa, terdapat 13 Altar. Di klenteng ini sendiri terdapat beberapa altar sembahyang. Tidak hanya di lantai dasar, beberapa altar juga ada di lantai atas. selain sebagai tempat ibadah umat Kong Hu Tcu dan Tao, klenteng ini juga digunakan sebagai tempat ibadah umat Buddha. Kita bisa menemukan altar dengan patung Budha berwarna emas di salah satu ruang di lantai atas.
Usia Klenteng Boen Hay Bio diperkirakan sudah mencapai 300 tahun lebih, berdiri pada 1694, berlokasi di Serpong, Tangerang. “Ada patung kepiting di gapura depannya,”. Bagian depan Klenteng Boen Hay Bio, dengan tulisan pada gerbang berbunyi “Vihara Karunayala, Boen Hay Bio Serpong”. Halaman Klenteng Boen Hay Bio ini cukup luas, dengan warung penduduk terletak di sebelah kanan depan bangunan, di bawah pohon beringin.
Untuk arsitektur Klenteng Boen Hay Bio tidak jauh beda dengan Klenteng pada umumnya dihiasi ornamen khas tanah Tiongkok. Pada bagian gerbang pintu kuil terdapat kepiting raksasa, dalam budaya Cina kepiting dipercaya dapat melindungi dan mengusir roh jahat.
Di ruang utama Klenteng, selain kedua naga besar yang melilit pilar, juga terdapat meja dengan ukiran naga dan burung hong indah dalam posisi berhadapan. Di atas meja tergeletak peralatan bebunyian berusia tua yang digunakan sebagai perlengkapan upacara sembahyang diKlenteng.
Banyak pengunjung datang ke Klenteng Boen Hay Bio untuk memuja Dewi Kwan Im yang merupakan lambang kebajikan. Hal ini sesuai dengan makna istilah Boen Hay Bio yang berarti kebajikan setinggi gunung dan sedalam lautan. Selain altar utama yang berisi patung Satya Dharma Bodhisatwa, terdapat 13 Altar. Di klenteng ini sendiri terdapat beberapa altar sembahyang. Tidak hanya di lantai dasar, beberapa altar juga ada di lantai atas. selain sebagai tempat ibadah umat Kong Hu Tcu dan Tao, klenteng ini juga digunakan sebagai tempat ibadah umat Buddha. Kita bisa menemukan altar dengan patung Budha berwarna emas di salah satu ruang di lantai atas.
B. Sistematika
Kegiatan
Ketika kami mengunjungi Klenteng Boen Hay
Bio kami berbincang-bincang dengan salah satu pengurus klenteng tersebut yaitu
pak Chandra yang katanya beliau keturunan ke 6. Klenteng adalah awalnya suatu
tradisi atau kepercayaan orang Tiong hoa akan tetapi ketika orde baru klenteng
harus disatukan dengan Budhis (vihara). Klenteng dan Vihara itu berbeda,
Klenteng menganut tiga ajaran dharma, yaitu :
1. Tao
2. Konghucu
3. Budhis.
a. Patung Kepiting
Selain berbincang-bincang kita berkeliling
melihat semua ruangan yang ada di klenteng tersebut. Di gapura pintu masuk
terdapat patung kepiting raksasa kenapa demikian, karena klenteng ini dulunya
adalah laut, “hay” sendiri artinya laut. Kemudian Kepiting ini adalah hewan
yang luar biasa, Kepiting walaupun jalannnya miring tapi satu tujuan.
b. Lampion, lilin dan Warna bangunan
Lampion-lampion sebagai lambing penerang
kehidupan. Adapun warna-warna dalam Klenteng tersebut yaitu Kuning berarti
logam, Putih berarti air, hijau berarti kayu, merah berarti api dan hitam
berarti bumi. Sedangkan lilin ia mengkorbankan seluruh tubuhnya untuk manusia.
Ketika sesorangb ada masalah maka ia akan menyalakan lilinnya dan berdoa
memohon agar menerangi masalahnya.
c. 13 Altar
Terdapat beberapa altar di klenteng tersebut
1. Thian Kong =
Tuhan Allah
2. Sam Kwan Tai te = 3 dewa (Bumi, Air dan Langit)
3. Sam Pok/Kwan
Se im po sat = tuan rumah yang didewakan sebagai panglima perang
4. Tho Tee kong
= dewa bumi
5. Kwan Se imp
po sa
6. Hok tek ceng
sin
7. Kwee seng
ong
8. Thay Siang
lo kun
9. Tay sun
10. Ci kung Hok
Hud
11. Su beng Ciao
Kun
12. Budhaa
Gotama
13. Dewa-dewi
C. Lokasi dan
Waktu Kegiatan
Berlokasi di Desa Cilenggang, Serpong. Tangerang Banten
Waktu kegiatan dilakukann pada tanggal 02
April 2017
D.
Pihak-Pihak yang dilibatkan
Pengurus Klenteng Boen Hai Bio Pak Chandra.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Klenteng Boen Hay Bio ini tepatnya terletak di Jalan Pasar Lama Serpong
RT 014/05 Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan. Kelenteng Boen Hay Bio
merupakan klenteng tertua yang ada di daerah Serpong karena klenteng ini sudah
berusia tiga ratus tahun dan sudah sepuluh kali direnovasi.
Di bagian depan
Kelenteng Boen Hay Bio, terdapat tulisan pada gerbang yang berbunyi “Boen Hay
Bio, Vihara Karuna Jala” serta ornamen sebuah kepiting raksasa. Rupanya
kepiting dalam budaya Tionghoa dipercaya dapat melindungi kuil dan mampu
mmengusir roh-roh jahat yang bergentayangan.
B.
Saran
Peninggalan Sejarah yang sangat luar biasa ini adalah sesuatu yang harus
di lestariakan, Selain klenteng ini sebagai situs sejarah klenteng ini pun bisa
dibudidayakan sebagi tempat wisata karena bangunannya yang indah ditambah ornamen-ornamen yang unik.
Daftar Pustaka
Langganan:
Komentar (Atom)