AGAMA TRADISIONAL ORANG LOMBOK
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama
Lokal
Pembimbing:
Siti Nadroh, MA

Disusun Oleh :
Fiqri Ramadhan (11150321000027)
Nurotun Aeni (11150321000029)
Sapawi (11150321000068)
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2016/2017
Kata Pengantar
Assalamualaikum
Wr Wb
Dengan
rahmat dan hidayat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam kenikmatan
yang tiada tara dan kesempatan sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah
Agama-agama Lokal tema “Agama Tradisional Orang Lombok”.
Sholawat
serta salam kita curahkan kepada baginda kita Nabi akhirul zaman yaitu Nabi
Muhammad SAW dengan ajarannya kita bisa merasakan indahnya islam dan beliaulah
yang telah merubah zaman yang penuh kebodohan ke zaman yang penuh degan ilmu
pengetahuan.
Alhamdulialh
makalah Agama-agama Lokal telah diselesaikan walaupun masih banyak kesalahan
disana sini, penulis mohon maaf dan meminta kritin dan sarannya.Harapan penulis
semoga ada guna dan manfaat bagi kitasemua. Akhirnya penulis ucapkan
terimakasih untuk semuanya. Selamat membaca kepada para pembaca dan semoga
bermanfaat
Waalaikumsalam Wr Wb
Ciputat, 20 Maret 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Provinsi NTB
terdiri dari enam kabupaten dan satu kotamadya. Enam kabupaten itu adalah
Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur yang terletak di pulau Lombok dan
Sumbawa, Dompu, dan Bima yang terletak di pulau Sumbawa. NTB merupakan daerah
dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer dan mempunyai penduduk sekitar
3,369,649 yang tersebar secara tidak merata di keenam kabupatennya. Lebih dari
70% atau sekitar 2.4 juta penduduk NTB
bermukim di Lombok.
Sasak adalah
penduduk asli dan merupakan kelompok etnis mayoritas di Lombok.Wallance
menyebutkan bahwa orang Sasak dapat dikelompokan kedalam jenis keturunan
Melayu.Mereka meliputi lebih dari 90% keseluruhan penduduk Lombok. Islam Wetu
Telu yang sebagian besar adalah masyarakat pedesaan yang terisolir dan terbelakang
dalam kehidupan.Mereka pada umumnyaberdomisili di bagian utara dan selatan
pulau Lombok.Namun penganutIslam Wetu Telu yang masih dapat bertahan sampai
saat ini hanya di bagianutara pulau Lombok, tepatnya di desa Bayan Kabupaten
Lombok Barat dansekaligus menjadi pusat Islam Wetu Telu.
Wetu Telu ini merupakan praktik agama yang unik, yang
sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan
agama Islam. Ditengarai
bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau,
yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara
bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan
lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya
terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat
gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.[1]
Dalam
makalah ini penulis akan mengurai masalah Agama Tradisional Orang Lombok yang
di ambil dari beberapa sumber dan referensi.
B. Rumusan Masalah
·
Bagaiman Keagamaan di Lombok dan Sejararah
masuknya Wetu Telu?
·
Siapakan Pendiri dan tokoh-tokoh dalam Wetu
Telu?
· Apa saja pokok-pokok kepercayaan dan keagamaan dalam kepercayaan wetu
telu?
· Bagaimana ritual dan praktek keagamaan Wetu Telu?
· Bagaimana konsepsi kepercayaan wetu telu?
· Bagaimana interaksi kepercayaan penganut Islam wetu telu dengan
agama-agama lain?
C.
Tujuan Masalah
·
Untuk
mengetahui bagaimana sejarah agama Wetu
Telu
· Untum mengetahui siapa tokoh-tokoh dalam Wetu Telu
·
Untuk
engetahui pokok-pokok kepercayaan dan
keagamaan dalam kepercayaan wetu telu.
· Untuk memahami konsepsi kepercayaan wetu telu.
· Untuk mengetahui interaksi kepercayaan penganut Islam wetu telu
dengan agama-agama lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah, Pendiri dan Tokoh-tokoh Kepercayaan Waktu Telu
a. Geografi dan Demografi Lombok

Gambar 1.1 : Peta Lombok.
Di antara kepulauan Indonesia, Lombok terletak di sebelah timur Bali dan di
sebelah barat Sumbawa. Pada bagian barat, terletak selat Lombok dan pada bagian
timur, terdapat selat Alas. Di sebelah utara Lombok juga berbatasan dengan Laut
Jawa dan di sebelah timur lautan Indonesia di bagian selatannya. Provinsi NTB
terdiri dari enam kabupaten dan satu kotamadya. Enam kabupaten itu adalah
Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur yang terletak di pulau Lombok dan
Sumbawa, Dompu, dan Bima yang terletak di pulau Sumbawa. NTB merupakan daerah
dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer dan mempunyai penduduk sekitar
3,369,649 yang tersebar secara tidak merata di keenam kabupatennya. Lebih dari
70% atau sekitar 2.4 juta penduduk NTB
bermukim di Lombok.[2]
Lombok sendiri merupakan kawasan dengan luas 470,000
kilometer atau hampir seperempat dari luas provinsi NTB. Lombok Barat dengan
penduduk berjumlah 859,273 orang merupakan kabupaten dengan penduduk paling
pada.
Disamping
terbelah secara etnik Lombok juga terbagi secara bahasa, kebudayaan dan
keagmaan. Masing-masing kelompok ettnik berbicara dengan bahasa mereka sendiri.
Orang Sasak, Bugis, dan Arab mayoritas beragama Islam. Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik
mayoritas Lombok.[3]Jumlah
populasinya sekitar 1,8 juta jiwa (1980). Umumnya orang Sasak memeluk agama
Islam, akan tetapi dalam penghayatannya mereka membedakan diri menjadi golongan
Islam Watu Telu dan Islam Waktu Lima. Golongan yang pertama mengakui
Allah dan Nabi Muhammad, akan tetapi lebih banyak menjaga kesucian batin dan
tingkah lakunya menurut nenek moyang. Sedangkan yang kedua menjalankan ajaran
Islam dengan baik.[4]
b. Sejarah keagamaan di Lombok
Sebelum kedatangn pengaruh asing di Lombok, Boda
merupakan kepercayaan asli orang Sasak.Orang Sasak pada waktu itu, yang
menganut kepercayaan ini disebut Sasak-Boda. Kendati demikian agama ini
tidaklah sama dengan Budhisme karena ia tidak mengakui Sidarta Gautama. Agama
Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme dan
panteisme.Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal
lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamman Sasak-Boda.
Konversi orang Sasak kedalam Islam sangat berkaitan
erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Orang Jawa,
Makassar, Bugis, Bali, Belanda, dan Jepang berhasil menguasai Lombok lebih
kurang satu Milenium. Setelah dinasti Majapahit jatuh, agama Islam dibawa untuk
pertama kalinya oleh para raja Jawa Muslim pada abad ke-13 kekalangan orang
Sasak Lombok dari barat laut.Islam segera menyatu dengan ajaran sufisme Jawa
yang penuh mistikisme. Orang-orang Makassar tiba di Lombok Timur pada abad
ke-16 dan berhasil menguasai Selaparang, kerajaan orang Sasak asli dibandingkan
dengan orang Jawa, orang Makassar lebih berhasil dalam mendakwahkan Islam
sunni. Mereka berhasil mengkonversikan hampir seluruh orang Sasak ke dalam
Islam, meskipun kebanyakan mereka masih mencapurkan Islam dengan kepercayaan
lokal yang non-Islami.[5]
Dibawah Belanda, Sasak mengalami kontrol dan
penindasan yang lebih keji daripada penguasa-penguasa sebelumnya. Para pemimpin
Islam, Tuan Guru, yang sebelum kedatangan Belanda telah melakukan dakwah untuk
mensyiarkan ajaran-ajaran Islam ortodoks dikalangan Wetu Telu, akhirnya
menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan ideologis untuk melawan penjajah
Belanda yang dianggap kafir, sepanjang pemerintahan kolonial Belanda, Tuan Guru
mengalihkan gerakan dakwah mereka menjadi pemberontak-pemberontak lokal yang
bernuansa ideologis Islam uantuk mengalahkan Belanda.
Selama era kolonialisasi Belanda, gerakan dakwah
pimpinan Tuan Guru makin meningkatkan polarisasi antara Wetu Telu dan Waktu
Lima.Jika kelompok pertama memberikan loyalitas mereka kepada para
bangsawan Sasak sebagai pemimpin tradisional dan terus memuja adat lokal,
kelompok kedua mengikuti Tuan Guru sebagia pemimpin keagamaan kharismatik
mereka. Pada tahun 1950 Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid yang juga pemimpin
nasionalis mendirikan pesantrennya, Nahdlatul Wathan.[6]
Sejauh ini tidak ada data mutakhir
berapa jumlah resmi penganut adat dan kepercayaan wetu telu, khususnya di Bayan. Namun sebuah sumber di Bayan menjelaskan bahwa
mayoritas penduduk yang mengaku muslim di Bayan adalah penganut wetu telu
yang dianut oleh kurang lebih 95% penduduk muslim Bayan. Namun ini hanyalah
sekedar estimasi di lapangan karena hampir semua penduduk Bayan meskipun mereka
menganut paham wetu telu tapi mereka
tetap mengakui Islam sebagai agamanya.[7]
c. Sejarah Wetu Telu (Islam dan Para Leluhur)
Islam Watu Telu, merupakan nama yang diletakan kepada salah satu komunitas
masyarakat Sasak muslim yang tinggal di desa Bayan Lombok Ada beberapa pendapat
yang di munculkan pleh para peneliti tentang asal-usul Islam Watu Telu. Teori-teori
tersebut antara lain menyebutkan, kehadiran watu telu disebabkan oleh karena
kesalahan para mubalig pembawa Islam yang meninggalkan pulau Lombok lebih awal
sebelum ajaran Islam yang disampaikan secara lengkap (sempurna) kepada
masyarakat Sasak. Pendapat lain menyatakan, karena adanya upaya “pengaburan”
ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh pendanda (Pendeta) Bali terhadap
masyarakat Sasak pada awal-awal Islam masuk ke Lombok. Pendapat lain
menyebutkan, terbentuknya Islam Wetu Telu lebih disebabkan karena
ketidaktegasan para mubalig muslim untuk menolak ajaran-ajaran pra-Islam (lokal) dalam masyarakat Lombok.[8]
Kehadiran ajaran Islam Wetu Telu tidak lepas dari berbagai persoalan atau
konflik politik yang pernah terjadi dalam kerajaan-kerajaan Islam di Lombok
pada waktu dulu. Samapai
sekarang belum ada penjelasan yang tuntas dan memuaskan mengenai pemberian nama
Islam Wetu Telubagi masyarakat Bayan, dan sejak kapan istilah itudigunakan
masih kabur. Tentang persepsi orang-orang Islam Waktu Lima, Budiwanti
menjelaskan mereka (Islam Waktu Lima ) berpendapat bahwa praktek keagamaan Wetu
Telu mendapatkan nama demikian berdasarkan makna harfiah Wetu Telu,
yakni waktu tiga. Mereka menafsirkan sebutan ini karena agama Wetu Telu
mengurangi dan meringkas hampir peribadatan Islam menjadi hanya tiga kali
saja.Orang Wetu Telu hanya melaksanakan tiga rukun Islam saja. Orang waktu lima
menganggap bahwa penganut Wetu Teluhanya melaksanakan tiga rukun Islam
saja, yaitu mengucapkan Syahadat, menjalankan sholat harian dan berpuasa.
Mereka meninggalkan rukun Islam keempat dan kelima.Pengikut Wetu hanya
melaksanakan sholattiga kali saja dalam sehari, yaitu Shubuh, Magrib dan Isya.
Kemudian Wetu Telu tidak menjalankan puasa sebulan penuh melainkan Cuma tiga
hari saja, yaitu pada permulaan , pertengahan dan pengunjung bulan Ramadhan.[9]
Adapun definisi Wetu telu
yang berbeda-beda sesuai dengan penafsiran masing-masing kelompok, diantaranya
sebagai berikut:
· Kelompok Islam wetu telu
sendiri memberi batasan sebagai “proses kejadian makhluk di alam semesta”.
· Seorang
pakar dari Belanda menyebut wetu
telu
sebagai bentuk kepercayaan zaman Majapahit yang terkena pengaruh ajaran Islam. Menurut kenyataannya, wetu telu adalah
sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran
agamanya.[10]
Orang
Islam Wetu Telu di Bayan sendiri memiliki pandangan yang berbeda dengan pemahaman
seperti orang Waktu Lima.Mereka mengatakan Wetu berasal dari kata metu, yang
berarti muncul atau datang dari, sedangkan telu artinya tiga. Secara simbolis
hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk itu muncul (metu) melalui tiga macam sistem reproduksi :
1. Melahirkan (menganak), seperti manusia dan mamalia
2. Bertelur (menteluk), seperti burung
3. Berkembang dari benih dan buah (mentiuk), seperti
biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tanaman lainnya.
Menganak, menteluk dan mentiuk secara simbolis mempresentasikan
makna harfiah Wetu Telu.[11]
Pendeknya, orang bayan
menggambarkan kepercayaan Wetu Telu dengan cara yang berbeda dari yang
dilakukna orang Waktu Lima. Dalam pemahaman mereka, secara simbolis Wetu
Telu menyakini :
1.
Tiga
macam system reproduksi seperti yang disebutkan sebelumnya
2.
Keseimbangan
antara dunia Makro dan Mikro
3.
Upacara
yang menyertai tiap-tiap tahap proses transpormatif dalam kehidupan seseorang
(dari lahir, hidup dan mati)
4.
Pengakuan
terhadap Tuhan, Adam dan Hawa.[12]
Pada
prinsipnya, istilah Islam wetu telu
datang dari luar dan masyarakat adat penganut ajaran yang disebut wetu telu ini
mengaku beragama Islam dan telah menganut ajaran ini selama ratusan tahun.Akan
tetapi, masalah tentang asal mula wetu telu ini
banyak yang berbeda pendapat.Ada yang mengatakan berasal dari pemeluknya dan
ada pula menolak anggapan tersebut.Namun, pandangan yang mengatakan bahwa
istilah wetu telu muncul dari
mereka sendiri sulit diterima yaitu karena beberapa hal.
Pertama, para pengikutnya berbeda-beda
menyebut faham mereka sesuai dengan perbedaan daerah. Bahkan tidak sedikit yang
keberatan dengan sebutan ini yang sering dihubungkan dengan praktek ajaran
Islam yang tidak sempurna, dan berbeda dengan apa yang mereka anut yaitu berdasarkan
ajaran Islam yang benar dan telah diwariskan secara turun temurun dari nenek
moyang mereka.[13]
Kedua, menurut keterangan para pemuka
kepercayaan wetu telu,
penyebutan istilah wetu telu
ini berasal dari kelompok yang merasa telah menjalankan ajaran Islam secara
benar. Selain itu, proses penamaan juga muncul dari para pengikut wetu telu yang dianggap berbeda
dengan penganut ajaran agama Islam pada umumnya.[14]
d.
Pendiri
dan tokoh-tokoh Wetu Telu
Menurut penjelasan pendiri Pengurus Persatuan
Islam Wetu-Telu di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram. Pada waktu
yang tidak diketahui, datang seorang utusan bernama Pangeran Gusti Ngurah dari
Jawa Tengah dengan membawa dua buah al-Qur’an, yang al-Qur’an itu sampai
sekarang harus dibaca dengan menggunakan lampu dari buah jeruk, dan kedua
al-Qur’an itu ditinggalkan di Lombok ketika Sang Pangeran melanjutkan
perjalanannya ke Sumbawa. Beberapa tahun kemudian, datang lagi seorang utusan
lain bernama Gempa Agung yang datang mencari Pangeran Gusti Ngurah. Karena
tidak ada, maka Gempa Agung tinggal di Lombok dan mengajarkan Islam kepada
penduduk.
Namun
demikian, di beberapa tempat di Lombok ada pula keterangan lain tentang siapa
pendiri dan penyebar Islam wetu teluini sesuai dengan daerah
masing-masing. Misalnya yang dianggap sebagai pendiri Islam wetu telu(Lombok
Barat bagian Utara) adalah Ratu Mas Pahit Sembah Ulun yang disebut Wong Mukmin.
Dia adalah seorang penyebar Islam dari Jawa. Dalam penyebaran ajaran Islam ia
berpedoman pada sumber Islam yang hakiki, yakni al-Qur’an dan Hadist, tetapi
tidak membrantas adat yang berlaku di Lombok.[15]
Pandangan lain menyebutkan nama
Pangeran Sangupati sebagai orang yang palong bertanggung jawab terhadap
kemunculan Islam Wetu telu di Bayan. Masyarakat Bayan percaya bahwa pembawa
Islam ke pulau Lombok, khususnya ke Bayan, ialalahpangeran Sangupati yang
berasal dari pulau Jawa. Sumber lain menyebutkan bahwa pangeran Sangupati
adalah putera Selaparang ia dianggap Waliyullah. Sementara Anak Agung
menyebutkan pangeran Sangupati adalah Danghyang Nirarta (salah seorang pendana
Bali yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Hindu dan sekaligus untuk
menghalangi perkembangan agama Islam.[16]
Demikian pula di daerah Sembalun, Lombok Timur, tidak
diperoleh keterangan secara pasti nama dari orang yang pertama kali membawa
faham wetu teluini. Hanya diperoleh cerita yang disampaikan secara
turun-temurun. Dahulu kala, menurut cerita tersebut, di daerah Lombok ada
seorang guru yang datang untuk mengajarkan agama Islam. Oleh masyarakat
Sembalun, guru itu diberi gelar Titik Selamin. Sebelum dai menyampaikan secara
utuh ajaran Islam. Ia lalu melanjutkan dakwahnya ke Pulau Sumbawa dan kemudian
tidak pernah kembali lagi.
Adapun tokoh-tokoh wetu teluyang bisa disebutkan antara lain:
1.
Raden Singadriya, seorang tokoh adat yang
besar di daerah Bayan, Lombok Barat bagian Utara
2.
Datu Sukowati, ia mantan hakim pada Pengadilan
Negeri Selong, Lombok Timur
3.
Lalu Badriai alias Manik Irmansyah, ia mantan
pegawai Kantor Penerangan Daerah Provinsi NTB
4.
Mamiq Murti
5.
Raden Suweno
6.
Lalu Andaka
7.
Aja, yang tinggal di desa Panarukan. Kecamatan
Gerung, Lombok Barat
8.
Lalu Jadid
Di samping itu, juga ada tokoh-tokoh wetu teluyang sudah meninggal
dianataranya:
1.
Kyai Talun, meninggal tahun 1937,
2.
Guru Dolah, meninggal tahun 1939,
3.
Kyai Adet, meninggal tahun 1934,
4.
Dr. Raden Sujono, meninggal tahun 1944,
5.
Kapuk Magas,
6.
Mamiq Ocet Salim, meninggal pada tahun 1965,
7.
Lalu Bratayudha, meninggal pada tahun 1965.[17]
B.
Pokok-pokok Kepercayaan dan Upacara Keagamaan dalam
Kepercayaan Waktu Telu
Konsep ideologis
dan kosmologis Wetu Telu Bayan tidak mudah bersanding dengan keyakinan
pada keesaan Tuhan.Agama mereka mengakui roh leluhur dan juga makhluk halus
yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu.
Meski begitu, semuanya itu
memiliki kekuatan supranatural yang tunduk pada Tuhan.[18]
a.
Arwah
leluhur
Sebagaimana umumnya orang Islam, orang Bayan juga
meruntut asal usul nenenk moyang mereka dari Adam dan Hawa.Merek percaya Adam
dan Hawa adalah asal mula semua manusia oleh sebab itu mereka mengakui kedua
orang itu sebagai nenek moyang paling tua.Lebih dari itu, orang Bayan mengakui
arwah nenek moyang yang sudah meninggal 100 tahun silam sebagai leluhur
mereka.Orang Bayan memebedakan kuburan biasa, dimana kakek-nenek (Papuk
baluk), orang tua, dan kerabat lainnya yang belum terlalu lama meninggal dikebumikan,
dengan makam keramat dimana cikal bakal masing-masing dasan dan dusun (Gubuk)
di makamkan.Jika kelompok pertama dikuburkan secara tersebar di dusun dan
dasan yang berbeda-beda, maka kelompok kedua makamnya dinaungi rumah bamboo
beratap sirap dan terletak sekeliling masjid kuno. Masjid kuno dan komplek
leluhur kini menjadi satu-satunya menjadi tempat keramat dimana rumah-rumah
makam tersebut menjadi perristirahatan terakhir sejumlah leluhur terpandang.
Yang menjadi pusatnya adalah sebagai berikut:
1. Makam
Reak
2. Makam
Titimas Penghulu
3. Makam
Sukadana (Titimas Pangeran Ratu)
4. Makam
Karangsalah dan Sesaid (Titimas Pepandan)
5. Makam
Anyar (Titimas Mutering Patih)
6. Makam
Karang Bajo
7. Makam
Loloan
8. Makam
Lebai Antasalam.[19]
Masing-masing arwah leluhur menunjukan pada garis
patrilinear tertentu.Makam raeak adalah makam tertua Bayan, Sehingga makam Reak
diyakinin sebagai makam sesungguhnya Susuhunan I (Raja pertama) Bayan dan
keluarganya. Makam-makam lainnya, disebut berdasarkan asal tokoh yang
dikebumikan (dan nama-nama diri merak dalam tanda kurung), adalah anak
Susuhunan Bayan I. Mereka juga merupakan cikal bakal orang-orang dari Sukadana,
Karangsalah, Anyar, Karangharjo, Sesaid, dan Loloan yang mengunjungi kopmlex
tersebut pada saat diselenggarakan upacara-upacara penting. Meeka juga meyakini
bahwa para leluhur yang dimakamkan dimakam Reak merupakan asal-usul dari mereka
yang dikebumikan dimakam-makam lain.[20]

Gambar 1.2: Masjid Kuno di Bayan
Pemangku Adat Bayan Agung menjelaskan bahwa “
leluhur orang Bayan hidup di du nia roh,
disebut alam halus, yang suci dan keramat. Dunia ini bertolak belakang dengan
alam kasar, dunia kehidupan yang tidak suci dan profan.Ada beberapa
tahap yang harus dilalui sebelum orang dapat memasuki alam halus. Suatu makhluk
hidup terdiri dari dua hal pokok: badan kasar atau tubuh secara fisik dan badan
halus, jiwa yang menetap dalam raga manusia. Karena badan kasar mempunyai
perwujudan fisik maka dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan.Badan (jiwa) tidak
punya bentuk atau potongan, dan tidak bisa dilihat atau disentuh secara fisik”.
Keyakinan terhadap kepanaan raga dan kekekalan roh
mengikat merekat mereka yang masih hidup.Pertalian ini harus ada sepanjang
hidup seseorang dan merasuki setiap aspek aktivitas individu seta
komunitasnya.Karena roh halus hidup di alam halus, orang Bayan menganggap
leluhur mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan.Mereka
memandang para leluhur itu sebagai perantara yang bisa berhubungan dengan Tuhan
mewakili mereka.Orang Bayan percaya bahwa leluhur mereka bisa membawa berkat
Tuhan, maupun memberikan perlindungan terhadap anak keturunan yang masih hidup
terutama dalam kesejahteraan mereka.Sebagai perantara, para leluhur berfungsi
mendekatkan antara manusia dengan Tuhan.[21]
b. Roh Penunggu
Selain arwah para leluhur , orang bayan juga percaya
pada makhluk-makhluk halus yang tinggal disebuah rumah (epen bale), dan yang
hidup di desa atau lingkungan tempat tinggal (epen gubug) mereka juga percaya
bahwa roh menempati segala benda mati seperti tanah, bukit, gunung, pepohonan,
hutan, mata air, sungai, laut, air terjun dan batu. Roh-roh ini adalah penunggu
benda yang ditempatinya seperti roh penunggu hutan (penunggu pawing atau hutan)
penunggu sungai dan penunggu gunung.
c.
Ritual Watu Telu
Pada umumnya orang bayan
mengohirmati hari-hari besar Islam, ritus peralihan, dan siklus tanam padi.Akibatnya,
sekalipun pada mulanya berasal dari Islam, ritus-ritus tersebut sudah sangat
diwarnai dengan ciri khas adat lokal.Ada juga upacara yang berasal dari
kebudayaan setempat dan dibubuhi dengan do’a-do’a berbahasa Arab berasal dari
tradisi Islam.
Berikut adalah serangkaian aktivitas
ritual (istilah lokalnya selametan, sedekah, roah) yang di lakukan pada saat
tertentu dalam satu tahun:
Nama Ritual
|
Waktu
Penyelenggaraan
(Versi Bayan)
|
Waktu
Penyelenggaraan Qamariyah
(Versi Arab)
|
Rowah Wulan
|
Saban
|
Sya’ban
|
Selametan
Qunut
|
Ramelan
|
Ramadhan
|
Melamen
Likuran
|
Ramelan
|
Ramadhan
|
Melamen
Pitrah
|
Ramelan
|
Ramadhan
|
Lebaran
Tinggi
|
Sawal
|
Sawal
|
Qulhu Sataq
|
Sawal
|
Sawal
|
Lebaran Topat
|
Sawal
|
Sawal
|
Lebarab
Pendak
|
Julhaji
|
Dzul Hijjah
|
Selametan
Bubur Petaq
|
Sapar
|
Shafar
|
Selamatan
Bubur Abang
|
Sapar
|
Shafar
|
Ngangkat
Syareat Maulud
|
Rabiul
Awal/Maulud
|
Rabialawwal
|
Teq Berat
Isra’ Mi’raj
|
Rejeb
|
Rajab
|
Waktu lima mengikuti waktu yang
ditentukan oleh Departement Agama, Sedangkan Wetu Telu menggunakan Naptu (perhitungan
Tradisional) mereka sendiri yang menetapkan tanggal yang tepat untuk
menyelenggarakan peringatan hari besar Islam.[22]
Ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti:
·
Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
Kedua
upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa (Ramadlan). Rowah
Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan pada jum’at
terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri
menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan
yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara
ini tergolong unik, karena masyarakat wetu telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para
kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut waktu
lima. Dalam situasi tersebut orang Bayan diminta menunda ritus peralihan individu (begawe)
seperti ngurisang (pemotongan rambut), nyunatang (Khitanan), dan ngawirang
(perkawinan).[23]
· Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Walaupun para kiyai Bayan tidak berpuasa
selama bulan Ramadhan, mereka menjalankan taraweh di masjid juno sejak
permulaan hingga akhir bulan Ramadhan.
Pada hari keenambelas Ramadhan, orang Bayan melaksanakan Maleman Qunut.Ini
adalah peringatan yang menandai keberhasilan melalui separuh bualan
puasa.Mereka mensyukuri terpelihara kerukunan dan harmoni sosial.Jika kelompok
Wetu telu Melaksanakan Maleman Qunut.Waktu Lima memperingati Nuzulul Qur’an.
Setelah melaksanakan maleman Qunut, orang Bayan merayakan Maleman Likuran
yang dilaksanakan pada malam21, 23,25,27 dan 29 bulan Ramadhan.Pada malam itu
masing-masing pemuka adat secara bergantian membawa ancakke masjid
kuno.Para Kiyai memakan Ancak sesudah mereka melakukan salat Isya dan
Taraweh.Makanan yang tersisa mereka bawa pulanh sebagai berkat.
·
Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Orang-orang
Bayan membayar zakat sebelum salat Ied.Tetapi, berbeda dengan Waktu Lima, Wetu
Telu membayar zakat dengan kolektif.Orang-orang Wetu Telu membayar pitrah
dalam bentuk makanan pokok dan buah-buahan seperti, padi dan gandum, ubi kayu,
ubi Jalar, Jagung, rempah-rempah, uang tunai dan kepeng bolong (uang logam
China).
Lebaran
tinggi juga dirayakan oleh masing-masing gubug dengan menyelenggarakan makan
bersama (pariapan).Perbedaan ritual ini adalah ritual untuk merayakan lebaran
Tinggi di tiap-tiap kampudisajikan diatas nampan tanah liat (sampak).[24]
·
Lebaran Topat

Gambar 1.3 : Perayaan Lebaran Topat di Lombok
Lebaran Topat diadakan seminggu
setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin
Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang
menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir
dengan makan bersama di antara para kyai.Dalam perayaan ini, ketupat menjadi
santapan ritual utama.
·
Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan
pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan waktu lima. Pelaksanaannya
dilakukan dua bulan setelah lebaran topat.Dimulai dengan shalat berjamaah di
antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan
pemotongan kambing berwarna hitam.
·
Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara selametan Bubur Puteq dan
Bubur Abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan Safar menurut penanggalan
wetu telu.Upacara ini
untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan
perkawinan.Bubur puteq (bubur putih) dan bubur abang (bubur merah) merupakan
hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur putih
melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah
melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.[25]
· Maulud

Gambar 1.4 : Persiapam
masyarakat sasak menyambut Maulud
Dari
penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan
kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh waktu lima.
Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, wetu
telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti
upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.[26]
Adapun bentuk-bentuk dialektika
antara Islam dan Budaya dalam wetu telu tersebut yaitu, Adat Hidup dan Mati: semenjak kelahiran hingga kematian
dalam kehidupan seseorang terdapat serentetan upacara-upacara adat sebagai
berikut:
a.
Buang
Au, upacara dilaksanakan menjelang seorang bayi berumur 7 hari
kemudian langsung diberi nama. Seperti halnya dalam waktu lima yang
disebut Aqiqah.
b.
Ngurisan
dan Nyunatan, upacara
dilaksanakan apabila anak-anak mencapai umur tiga sampai enam tahun. Hal ini
juga dilakukan dalam Islam.
c.
Potong
Gigi dan Ngawinan, merupakan
upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara
ini pemangku atau kiai menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis
remaja yang berbaring di berugak.[27]
Begitu pula dalam peristiwa kematian
banyak sekali macam upacara bahkan terjadi pengorbanan yang luar biasa karena
dianggap sebagai penghor-matan terakhir pada almarhum. Kegiatan upacaranya
meliputi: penyelenggaraan jenazah seperti memandikan, mengafankan, menyalatkan
dan menguburkan. Setelah keempat upacara tersebut selesai kemudian menyusul
kegiatan lainnya, berupa upacara sebagai berikut:
·
Mituq, yaitu hari ke tujuh dari peristiwa kematian,
·
Nelung, yaitu hari ketiga dari peristiwa kematian,
·
Nyanga, yaitu hari kesembilan dari peristiwa
kematian. Pada hari ini diserahkan sebagian harta benda almarhum kepada pihak
petugas atau acara ini lazim disebut istilah nyelawat.
·
Pelayaran, upacara ini dilaksanakan tiap-tiap minggu atau bulan tepat pada
hari kematian sesorang. Matangpulu, Nyatus dan Nyiu; masing-masing
diadakan pada hari yang ke empat puluh, keseratus dan keseribu.[28]
C. Konsepsi Kepercayaan Islam Waktu Telu
Meskipun banyak atribut yang
diletakkan oleh Waktu Lima untuk mengkarakteristian Wetu Telu.Mansyarkat
Bayan sendiri menpunyai konsepsi sendiri mengenai keyakinan dan peribadatan
mereka.
Ini lah beberapa konsepsi kepercayaan Islam Waktu Telu
· Pemangku mengatakan “Wetu telu” seringan dikacaukan oleh
waktu. Wetu berasal dari kata metu yang muncul atau datang dari,
sedangkan telu artinya tiga. Secaara simbolis hal ini mengungkapkan
bahwa semua makhluk hidup muncul (Metu) melalui tiga macam system
repoduksi: 1) melahirkan 2) bertelur 3). Berkembang Biak. Wetu Telu juga tidak
hanya menunjukan pada tiga macam reproduksi, melainkan juga menunjukan
kekuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup dan mengembangbiakkan diri
melalui mekanisme reproduksi tersebut
· Wetu Telu juga melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama
lain. Untuk menerangi hal itu, orang bayan membagi wilayah kosmologi menjadi
dua. Menurut
konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad
besar. Jagad kecil disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas dunia,
matahari, bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya
merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam
semesta.[29]
· konsepsi yang menyatakan bahwa wetu telu sebagai sebuah sistem agama
termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap
rangkaian siklus; dilahirkan (menganak), hidup (urip), dan mati (mate).
Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang
selalu diiringi upacara, merepresentasikan transisi dan transformasi status
seseorang menuju status selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap
dunia roh.
· Pemangku adat Agung menjelaskan bahwa un sur-unsur penting yang tertaman
dalam ajaran Wetu Telu adalah :
a). Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indera tubuh manusia.
b). Simpanan Ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa. Secara
simbolis Adam merepresentasikan garis ayah atau laki-laki, sementara Hawa
merepresentasikan garis ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat
organ pada tubuh manusia.
c).Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indera
(berasal dari Allah) dan 8 organ yang diwarisi dari Adam (garis laki-laki) dan
Hawa (garis perempuan). Masing- masing kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap
lubang yang ada di tubuh manusia dari mata sampai anus.
konsepsi yang menyatakan bahwa pusat
kepercayaan wetu telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa.
Pendeknya, orang Bayan menggambarkan kepercayaan Wetu Telu dengan cara berbeda
dara yang dilakukan orang Waktu Lima.[30]
D. Interaksi Kepercayaan orang Lombok dengan
agama-agama lain
Dalam kehidupan beragama maupun kehidupan budaya manusia, keduanya
berasal dari sumber yang sama, yaitu merupakan potensi fitrah (pembawaan)
manusia, bertumbuh dan berkembang secara terpadu bersama-sama dalam proses
kehidupan manusia secara nyata di muka bumi, dan secara bersama pula menyusun
suatu sistem budaya dan peradaban suatu masyarakat atau bangsa. Namun demikian
keduanya memiliki sifat dasar yang berbeda, yaitu bahwa agama memiliki sifat
dasar “ketergantungan dan kepasrahan”, sedangkan kehidupan budaya mempunyai
sifat dasar “kemandirian dan keaktifan”. Oleh karena itu, dalam setiap
tahap/fase pertumbuhan dan perkembangannya menunjukkan adanya gejala, variasi,
dan irama yang berbeda antara lingkungan masyarakat/bangsa yang satu dengan
lainnya[31]
Proses islamisasi yang berlangsung di Nusantara pada
dasarnya berada dalam proses akulturasi. Seperti telah diketahui bahwa Islam
disebarkan ke Nusantara sebagai kaedah normatif di samping aspek seni
budaya.Sementara itu, masyarakat dan budaya di mana Islam itu disosialisasikan
adalah sebuah alam empiris. Dalam konteks ini, sebagai makhluk berakal, manusia
pada dasarnya beragama dan dengan akalnya pula mereka paling mengetahui
dunianya sendiri.Pada alur logika inilah manusia, melalui perilaku budayanya
senantiasa meningkatkan aktualisasi diri.Karena itu, dalam setiap akulturasi
budaya, manusia membentuk, memanfaatkan, mengubah hal-hal paling sesuai dengan
kebutuhannya[32]
a. Agama Awal
Seperti yang telah kita bahas di atas bahwa
Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada
kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan
hubungan dengan Buddhisme. Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui Sidharta
Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan
penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.
b. Hindu-Budha
Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya.
Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Sejarah
Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang
terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di
Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan di luar pulau Lombok.
Perkembangan era Hindu, Buddha, memunculkan beberapa kerajaan seperti
Selaparang Hindu, dan Bayan. Kerajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di
tundukan oleh penguasa dari kerajaan Majapahit saat ekspedisi Gajah Mada di
abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara
Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa
dan tulisan. Jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu
Jawa. Hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang
kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun
kerajaan di Lombok. Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok
hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan oleh kerajaan Bali
sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lombok dalam waktu yang cukup lama.
Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum
pendatang. Hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran
dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil
dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil
dan meminjam sehingga terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling
melengkapi.[33]
c.
Islam
Di akhir abad ke 16 hingga abad ke
17 tahun 1545 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah
satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku
Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Islam disebarluaskan
melalui sebuah ekspedisi dari Jawa yang dibawa oleh Sunan Prapen putra dari
Sunan Giri, beliau merupakan salah satu Wali Songo yang terkenal. Menurut
beberapa ahli sejarah, sebelum Islam masuk kepulau ini,penduduk asli Sasak
mempunyai agama tradisional, yaitu Boda. Islam -sejak awal kemunculanya dan
akan berlanjut hingga akhir zaman, telah menghadapi beberapa perbedaan nilai
yang contradiktif dengan tradisi lokal dan budaya. Hal tersebut menyebabkan
sebuah proses dialektika dan menghasilkan warna lokal Islam yang disebut Islam
Wetu Telu di Bayan, Lombok Utara.[34]
Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada
masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu
Lima).
Ini menunjukkan adanya hubungan masa lalu
antara penganut Islam wetu telu dengan
agama Buddha dan Hindu dalam penyebarannya ke tanah Lombok khususnya Suku
Bayan.[35]
BAB
III
Penutup
A.
Kesimpulan
Bayan menjadi pusat islam di lombok
, namun terjadi perbedaan ajaran ada yang memiliki pemahaman waktu solat hanya
3 kali sehari ini yang di sebut wetu telu dan ada juga yang memiliki pemahaman
tentang solat lima kali sehari ini yang di sebut waktu lima. Penganut waktu
lima memiliki persepsi bahwa wetu telu adalah ajaran yang salah dan tidak
sesuai dengan ajaran islam,wetu telu masih mempercayai adanya roh-roh,selain
itu juga wetu telu dianggap menyeleweng, dari semua peribadatan yang dilakukan
wetu telu menjadi sorotan waktu lima.
Penganut wetu telu menganggap
dirinya sebagai orang islam dan melaksanakan perintah dari islam, dan menurut
mereka adalah yang paling benar, namun kenyataannya pada aplikasi sehari-hari
tidak sesuai dari yang dikatakan, merek mengatkan wetu telu itu adalah budaya, bukan
islam, namun menurut waktu lima mereka menyatukan islam (keyakinan ) dengan
adat istiadat bahkan mereka mengesampingkan islam dari adat istiadat , penganut
wetu lebih mengutamakan budaya/adat dari pada agama, maka dari itu wetu
memiliki upacara agama yang bernilai adat.
Ritual-ritual Wetu telu terlihat pada acara; buang au, ngurisan,
ngitanan, merosok, merarik, lebaran topat, selametan
dan maulidan yang berbeda pada peringatan maulid pada umumnya. Ritual ini masih
terpelihara di beberapa daerah dengan konstruksi konten yang lebih bernuansa
keislaman murni. Ada beberapa konsep mengenai kepercayaan Islam wetu tellu,
diantaranya adalah konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu telu sebagai
sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati
tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan [menganak] hidup [urip] dan mati
[mate]. Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini.
B.
Penutup
Demikianlah
Pembahasan dalam makalah yang dapat penulis simpulkan, jika terdapat banyak
kesalahan yang terdapat dalam konten, bahasa dan lain sebagainya penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan Saran sangat penulis perlukan.Akhirnya
penulis ucapkan bagi para pembaca semoga ada manfaat dan guna bagi kita semua.
Daftar
Pustaka
·
Agus,
Bustanudin, Agama dalam
Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Pers)
·
Budiwanti, Erni Islam Sasak Wetu Telu
versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
·
Harfin Zuhdi,Muhammad, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; DialektikaIslam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html.
·
Harfin Zuhdi,
Muhammad “PAROKIALITAS ADAT WETU TELU DI BAYAN” [Wajah Akulturasi Agama Lokal
Di Lombok]
file:///C:/Users/fauziah/Downloads/41794-ID-parokialitas-adat-wetu-telu-di-bayan-wajah-akulturasi-agama-lokal-di-lombok.pdf
·
Hidayah, Zulyani Ensiklopedia Suku Bangsa di
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2015)
·
Jamaludin,
Sejarah Islam di Lombok tahun 1740-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan Guru)
·
Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan
Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang
Agama Departemen Agama RI, 1999)
[1]
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu
Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000),
[2]
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu
Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
[4]
Dr. Zulyani
Hidayah, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2015),
Hal. 334-336
[5]
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu
Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
[7] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2014), h. 158-160.
[8]
Jamaludin, Sejarah Islam di Lombok tahun 1740-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan
Guru)
[9]
Jamaludin, Sejarah Islam di Lombok tahun 1740-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan
Guru Hal. 206-208
[10]
Tim Peneliti Badan Litbang Agama, Tradisi dan
Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang
Agama Departemen Agama RI, 1999), h. 57.
[11]
Jamaludin, Sejarah Islam di Lombok
tahun 1740-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan Guru), Hal. 210
[12]
Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014), hal. 163
[13]
Ibid. Kementrian agama. Hal. 164
[14]
Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014),
[15] Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1999), h. 66-67.
[16]
Jamaludin, Sejarah Islam di Lombok
tahun 1740-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan Guru), Hal. 214-215
[17]Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1999), h. 69-71.
[19]
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu
Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
[20] Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu Lima, (Yogyakarta:
LkiS, 2000
[21]
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu
Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
[22]Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu Lima, (Yogyakarta:
LkiS, 2000)
[23]
Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan
Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html.
[24]
Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan
Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html.
[25]
Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan
Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html
[26]
Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan
Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html.
[27]
Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan
Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html.
[28]
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu
Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
[29]
Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Wetu telu di
Bayan, Istinbath, Vol. 13, No. 1, Desember 2014. h. 33
[31]Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi
Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal.106
[32] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu telu-di-bayan-lombok.html.
[33]
Sejarah asal usul Lombok.
http://lombok-cyber4rt.blogspot.co.id/2016/04/sejarah-dan-asal-usul-lombok-lengkap.html
[34]Muhammad Harfin Zuhdi “PAROKIALITAS
ADAT WETU TELU DI BAYAN” [Wajah Akulturasi Agama Lokal Di Lombok]
file:///C:/Users/fauziah/Downloads/41794-ID-parokialitas-adat-wetu-telu-di-bayan-wajah-akulturasi-agama-lokal-di-lombok.pdf
[35]Sejarah
dan Tradisi Suku Sasak Lombok, NTB, http://www.wacananusantara.org/sejarah-dan-tradisi-suku-sasak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar