RESPONDING
PAPER
AGAMA
LOKAL
SUKU
SAMIN
A. SAMIN
SUROSENTIKO DAN AJARANNYA
Samin Surosentiko lahir
pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya
bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli
adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama
yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah
dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan
Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini
menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914. Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914. Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
B.
AJARAN KEBATINAN
Menurut
warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara
Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin
Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.
Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT
JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku.
Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal ? manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi ?. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai ? rangka umanjing curiga ?( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ).
Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut : ?Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.?
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut : ? Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik , (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.? Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah ? Saderek gangsal kalima pancer? adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut: ? Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an.
Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya.
Hal ini akan mengakibatkan penderitaan. Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja.
Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal ? manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi ?. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai ? rangka umanjing curiga ?( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ).
Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut : ?Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.?
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut : ? Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik , (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.? Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah ? Saderek gangsal kalima pancer? adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut: ? Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an.
Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya.
Hal ini akan mengakibatkan penderitaan. Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar