Senin, 05 Juni 2017

SUKU NIAS

Suku Nias
A.    Letak Geografis suku Nias



 












 
Menurut letak  geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0°12’-1°32’ Lintang Utara (LU) dan 97 °-98° BujurTimur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah Sebelah Utara :
berdasarkan dengan Pulau-pulau banyak Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
  • Sebelah Selatan : berbatasandenganKabupatenNias Selatan, Propinsi Sumatera Utara.
  • SebelahTimur : berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara.
  • Sebelah Barat : berdasarkan dengan Samudera Hindi
Suku Nias salah satu suku yang ada di Sumatera utara terletak sebelah barat pulau sumatera indonesia, nias memiliki wisata alam yang sangat indah sehingga keindahannya pun sampai ke manca Negara, banyak turis asing berkunjung ke nias hanya untuk menikmati panorama alam nias yang memukau salah satunya untuk berselancar. ciri khas orang nias adalah berkulit putih baik laki-laki maupun perempuannya. kebudayaan nias sangatlah indah sehingga perlu dilestarikan.[1]
Menurut catatan Koestoro dan Wiradnyana, Nias adalah gugus pulau yang jumlahnya mencapai 132 buah, membujur di lepas pantai barat Sumatera yang menghadap Samudera Hindia. Tidak semu pulau tersebut dihuni oleh manusia. Hanya sekitar lima pulau besar yang dihuni, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Dari lima pulau tersebut, Pulau Nias-lah yang berpenghuni paling padat serta menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman dan berprofesi sebagai petani. Mereka tinggal di kampung-kampung yang dipisahkan jarak yang cukup jauh antara satu kampung dan kampung lainnya.
Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakan, bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Ciri dialek dalam bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Reuter, bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di ujung barat melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam.[2]
B.   Asal Usul
Sumber: http://folktalesnusantara.blogspot.co.id/2013/01/siraso-sang-dewi-bibit-suku-nias.html

Para penghuni pulau ini menyebut diri mereka sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku tertua diNusantara. Beberapa pendapat mengatakan bahwa orang nias berasal dari China, Thailand, Vietnam, Mongolia, atau Jepang jika dilihat dari segi fisik. Sementara jika ditelusuri secara tradisi lisan pendapat yang lain mengatakan suku Nias berasal dari langit, nidada. Memang sangat sulit dalam memutuskan antara kebenaran akan misteri ini. Oleh sebab itulah untuk mendekati guna mendapatkan kebenaran maka cara ilmiah pun akhirnya ditempuh untuk mengetahui asal-usul suku Nias.[3]
Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur orang Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias yang diwariskan secara turuntemurun  sehingga menyerupai mitos) maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog.) Menurut Johannes Maria Hammerle dalam  Asal-Usul Masyarakat Nias, hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela. Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak keturunan Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian  disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik. Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan.
Dalam catatan Hammerle, Masyarakat Nias meyakini terdapat tigakelompok etnis berbeda yang pernah—bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih—tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha safusi atau kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (2) Niha sebua gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua (seperti artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tõgi Ndrawa yang terletak di Desa Lõlõwanu Niko‘otanõ, Kecamatan Gunung Sitoli. Dipublikasikan Badan Arkeologi Medanbahwa mereka tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an.), sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; dan (3) Lani ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Seiring waktu, sebagaimana diramalkan oleh teori evolusi, hanya kelompok etnis terkuatlah yang sanggup bertahan hidup. Dengan demikian, hanya lani ewöna yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias.dikemukakanoleh Sonjaya dan Hammerle, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3.500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi.
C. Mitologi
Dalam mite dijelaskan bahwa ketika leluhur Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a,diikut-sertakan kepada mereka segala yang dibutuhkan, yakni rumah lengkap denganperalatannya, semua alat ukur atau timbangan (Afore = alat ukur babi, Lauru = alattimbangan padi/beras, Fali’era = alat timbang emas); semua jenis tanaman, binatangbinatang,termasuk pinang, gambir dan sirih. Demikian juga segenap perhiasan, termasukbait (osali) serta berbagai macam Adu (patung). Mite tersebut hendak mengungkapkanbahwa manusia yang diturunkan dari Teteholi Ana’a itu telah mempersiapkan segenapkebutuhan, termasuk sistem hukum adat dan religinya. Hal ini penting untuk menjaga hubungan di antara mereka dan relasi dengan allah atau leluhurnya, sehingga manusiayang ada di bumi ini tetap hidup dalam kesejahteraan. Ini sangat penting karena bagi OnoNiha keharmonisan hubungan, apalagi dengan leluhurnya (allahnya) sangat penting agarlepas dari berbagai penyakit dan bencana, serta memperoleh berkat dalam kehidupan di duniaini. Mendapatkan berkat adalah tujuan hidup. Berkat yang dimaksud adalah Lakhömi, yaknikekayaan, keturunan, dan kehormatan serta terlepas dari berbagai kutukan. Untukmendapatkan Lakhömi maka Ono Niha menjaga hubungan dengan para dewa dan leluhur padasatu sisi, dan dengan masyarakat pada sisi lain, dan untuk itulah maka sepanjang hidup OnoNiha, mulai dari “sebelum kelahiran hingga sesudah kematian” dijalani dengan ketaatanpada religi dan kepercayaannya serta pada adat-istiadat.6
Bila melakukan analisa tentang Adat-istiadat di selingkaran hidup di Nias tampak sangatmenekankan bagaimana supaya sistem hidup yang dibawa di negeri asal leluhur, dan itu harusterus dipelihara dan diwariskan, di tengah realitas berhadapan dengan masyarakat lain dengankebudayaannya sendiri. Perjumpaan itu, di satu sisi, memperlihatkan eksklusifisme terhadapkebudayaan yang sudah mengakar. Oleh karena itu, kelahiran anak laki-laki dalam keluargasangat penting, sebagai famatohu nga’õtõ (penerus keturunan); pemberian nama menjadiurusan para pemimpin kampung; bahkan ada upacara lainnya, yakni: mengasah gigi sebagaitanda-tanda bagi anak-anak kaum bangsawan; menjalani ritus-ritus tertentu seperti mengasahgigi, sunat, menikah, dan menyelenggarakan pesta-pesta jasa tahap-tahap menuju kedewasaansosial; memahami kematian sebagai jalan untuk kembali ke negeri asal. Sikap eksklusif ituadalah oroisa (amanah), sehingga ketika tidak dilaksanakan dapat menimbulkanamarah/kutukan dari para leluhur.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Dalam masyarakat nias di kenal pula adanya sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Nias merupakan sebuah pulau yang berada di sebelah barat Pulau Sumatera,
terletak antara 0012’ – 1032’ Lintang Utara (LU) dan 970 – 980 Bujur Timur (BT). Secaraadimistratif Nias merupakan kabupaten yang termasuk dalam Propinsi Sumatera Utara.Kabupaten Nias berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara ialah Pulau Pulau Banyak Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
2. Sebelah Selatan ialah Pulau Pulau Mentawai Propinsi Sumatera Barat.
3. Sebelah Timur ialah Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah.
. 4. Sebelah Barat ialah Samudera Hindia.
Kabupaten Nias mempunyai luas wilayah 5.625 KM2 atau 7,8 % dari luas
Propinsi sumatera Utara, yang terdiri dari 132 buah gugusan pulau-pulau besar dankecil.Ibukota Kabupaten Nias yaitu Gunungsitoli berkedudukan di Pulau Nias.Banyaknya pulau yang dihuni 33 buah dan pulau yang tidak dihuni 99 buah.
D.      SistemKemasyarakatan (sosial)
Jauh sebelum Indonesia Merdeka dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,telah ada kelompok sosial di kepulauan Nias yang terorganisir dalam sebuah desa yangdisebut Banua, dan Öri sebagai koalisi dari beberapa desa. Penataan kehidupan dalam“Banua”, baik menyangkut system pemerintahan, system matapencaharian, system religious,system kekerabatan dan kemasyarakatan, dan lain sebagainya – dilakukan berdasarkan unsurdan nilai kebudayaan setempat, yakni Kebudayaan Nias. Untuk menciptakan kehidupan yangharmoni, damai dan sejahtera, masyarakat Nias menerapkan system stratifikasi-demokratisdengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kebenaran (dengan symbol Afore (ukuranbabi), Lauru (Ukuran beras/padi) dan Fali'era (Timbangan).8Prinsip tersebut di atau menjiwai bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum dalamFondrakö. Menurut S.W. Mendrofa9 bahwa Fondrakö tersebut memiliki banyak pengertian,yakni: lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian Ono Nihalambang senidan budaya Ono Niha, lambang Tata Hukum pemerintahan tradisionalOno Niha dan lambangpersatuan atau hubungan sosial Ono Niha. Menurutnya bahwa dasar Fondrakö adalah: Fo´adu(mengkultus suatu dzat sebagai tumpuan kepercayaan, dan dinyatakan dalam menyembahAdu), Fangaso (tata aturan pemilikan yang diatur dalam Fondrakö), Foharahao-hao (adatyang menyangkut pribadi dan tata kemasyarakatan), Fobarahao (cara menyusun pemerintahan)dan Böwö Masi-masi (etika saling mengasihi). Jadi Fondrakö adalah budaya dan sekaligus"agama" yang terdapat di setiap banua atau Öri, sehingga terdapat "keragaman" atau "variasi"Fondrakö bagi orang Nias. Bertolak dari dasar Fondrakö tersebut di atas, maka pokok –pokokyang dibahas, dimusyawarahkan dan disyahkan dalam Fondrakö menyangkut adat-istiadat,yakni:
(1) huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia),
(2) huku si fakhai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atashartamilik manusia),
(3) huku sifakhai ba rorogofö sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia).
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kepulauan Nias sebagai bagian Nusantara telah memilikikearifan lokal menata kehidupan bersama dalam “Banua” berdasarkan pandangan hidupnya,yakni kebudayaan setempat. Namun, sistem tersebut mengalami kegoncangan dan perobahanterutama sejak pemerintah Kolonial Belanda, Jepang, NKRI dan juga interaksi dengan agamaagamayang datang dari luar. Pada pihak lain, Fondrako yang justru mendapat tempat strategidalam penataan kehidupan masyarakat, tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya, karena padatahun 1914, pemerintah kolonial Belanda melarang melaksanakan upacara Fondrako, dan diarahkan untuk mengikuti “Hukum Adat Kristen di Nias” yang dibuat oleh kerjasama kolonialdan misionaris.[4]
E.                 Sistem  Mata Pencaharian
Walaupun ribuan tahun yang lalu, masyarakat menggantungkan diri pada alam (al. Buah-buahanseperti kelapa,dll), namun pada abad-abad ke-11 dan terutama pada abad ke-17 –sudah mulai ada kopra walaupun masih sangat terbatas. Tetapi ketika missionaris tiba,sistem pencaharian masyarakat sudah tertata dalam 4 bidang, yakni:Berburu (Sökha, laosi, nago, böhö). Pekerjaan ini terkait dengan sistem kepercayaan.
Mereka meyakini bahwa pemilik binatang yang ada di hutan adalah BELA. Oleh karenanya,dalam melaksanakan perburuan selalu didasarkan pada pemberian persembahan kepadaBela, dan di tempat pelaksanaan ritus tersebut ditempatkan siraha sebagai simbol illah yangdipercayai. Kegiatan berburu ini dilaksanakan secara perorangan, tetapi umumnya dengankelompok. Dalam kegiatan kelompok ini sudah ditetapkan dalam musyarawah adattentang sistem kepemimpinan, sistem pembagian kerja dan sistem pembagian hasil,termasuk sistem bertabu (famoni). Sistem dan nilai ini masih hidup sampai sekarang,dimana “jasa” setiap orang didasarkan pada peran yang telah dilaksanakannya.Bertani. Selain kelapa yang umumnya banyak tumbuh di tepi pantai, pada abad ke-17masyarakat Nias sudah mengenal sistem bertani ladang17, dan baru pada abad 18/19berkembang sistem pertanian sawah. Walaupun pada zaman dahulu penggarapan tanahdidasarkan pada kemampuan seseorang, namun pada perkembangan kemudian ditatakepemilikan tanah dengan sistem tanah adat. Demikian juga sistem bertanam: waktunya(mamaigi bawa dalu mbanua18), jenis tanaman, cara mengerjakan dengan sistem falulusaatau fatanö luo disepakati dalam sistem adat. Kegiatan bertanipun juga memiliki dimensireligious. Masyarakat percaya bahwa padi ada pemiliknya (sibaya wakhe) dan olehkarenanya, agar tanaman tidak dirusak oleh roh-roh jahat ataupun hama dan tikus sertadiberkati oleh dewa pemilik tanaman, maka dilakukan ritus-ritus (al. pesta Saho, ritus padaadu dan berbagai famoni).Beternak. Salah satu ternak piaraan masyarakat Nias yang lama ada dan menjadi tradisiadalah ternak babi. Ini sangat penting, terutama dalam kebutuhan adat-istiadat, dan jugauntuk kepentingan persembahan dalam ritus-ritus agama lama. Dahulu, cara berternak babiini dilaksanakan dengan cara mo’arö göli (memagar kebun dengan bambu, lalu ternak babidalam jumlah banyak dilepas dalam kebun yang telah pagar tersebut antara 4-6 bulan hingga
F.       Sistem Kepercayaan (Religi)
Sebelum datangnya agama Kristenan, Islam, Hindu, dan Buddha ke Pulau Nias dan PulaupulauBatu, orang Nias sebagai salah satu suku yang tergolong tua telah memiliki sistemkepercayaan tersendiri. Para peneliti, menyebut agama asli Nias dengan istilah “penyembahruh”20 atau Agama Pelebegu atau Penyembah Patung (Molohe Adu).Ada juga yangmenyebut sebagai penyembah dewa-dewa.
Disini akan mengulas secara mendalam sistem kepercayaan Nias disini, tetapi yang jelas melalui mitos dikenal dewa-dewa dunia atas dengan nama Teteholi Ana’a (Lowalangi,Sihai, atau di Nias Selatan dikenal Inada Samihara Luo, dan PP. Batu dikenal InadaDao), dan dewa-dewi dunia bawah (lature danö atau Bauwa danö). Dikenal juga dewayang sangat jahat yakni Nadaoya dan Afökha  dan berbagai dewa rendah (roh halus) yangdisebut "bekhu", yakni: Bekhu Gatua (hantu hutan), Bekhu Dalu Mbanua (Roh yangbergentayangan di langit); Zihi (hantu laut), Simalapari (hantu sungai), Bela (hantu yangberdiam di atas pohon, pemilik semua binatang di hutan), Matiana, roh wanita yang matiketika melahirkan bayi, lalu roh ini menjadi pengganggu para wanita yang mau melahirkan;Tuha zangarofa (penguasa ikan di sungai), Salöfö, yakni roh orang yang pandai berburu, dan berbagai roh jahat yang tinggal di gua, yang tinggal pohon besar, sungai dan muara sungai, danOno Niha juga takut dan menghormat roh nenek moyang atau sering disebut “malaika zatua”. Semua roh-roh halus tersebut ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha menghindarinyadengan menaati tabu (famoni) atau menenangkannya melalui ritus-ritus penyembahan.Berdasarkan itulah misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif menyimpulkanbahwa poros agama asli Nias adalah ketakutan. Segala sesuatu yang dilakukan olehmasyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengankepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai, turut mempengaruhi tindakan mereka,sehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari baik, dan agar merekaterhindar dari segala macam pernyakit yang diakibatkan oleh roh jahat, mereka memakaijimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari mujur dan hari-hari tidak mujur untuk membangunrumah, untuk menanam padi, untuk perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yangmembuat kekebalan sehingga tidak dapat melukai, dan lain-lain. Semua ini merupakanupaya mengindari ancaman roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga keserasianhidup dan kelangsungan hidup alam semesta, masyarakat Nias harus memberikanpersembahan-persembahan kepada dewa-dewaberbagai roh jahat yang tinggal di gua, yang tinggal pohon besar, sungai dan muara sungai, dan Ono Niha juga takut dan menghormat roh nenek moyang atau sering disebut “malaika zatua”.
Semua roh-roh halus tersebut ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha menghindarinyadengan menaati tabu (famoni) atau menenangkannya melalui ritus-ritus penyembahan.Berdasarkan itulah misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif menyimpulkanbahwa poros agama asli Nias adalah ketakutan.31 Segala sesuatu yang dilakukan olehmasyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai, turut mempengaruhi tindakan merekasehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari baik, dan agar merekaterhindar dari segala macam pernyakit yang diakibatkan oleh roh jahat, mereka memakaijimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari mujur dan hari-hari tidak mujur untuk membangunrumah, untuk menanam padi, untuk perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yangmembuat kekebalan sehingga tidak dapat melukai, dan lain-lain. Semua ini merupakanupaya mengindari ancaman roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga keserasianhidup dan kelangsungan hidup alam semesta, masyarakat Nias harus memberikanpersembahan-persembahan kepada dewa-dewa.[5]
Istilah Lowalangi dalam suku nias adalah cara penyebutan masyarakat nias sebagai nama Allah. Selain itu ada pula yang disebut Lature Dano yaitu pembela, penjaga, dan pemerintah Dunia bawah. Di antara dewa atas dan dewa bawah, ada lagi dewi yang disebut Nazariya Mbanua, istilah orang Nias Selatan untuk menyebut dewi Silewe Nazarata. Silewe Nazarata (istilah Nias Utara yang dipakai sekarang adalah dewi penghubung di antara Lowalani (dewa dunia atas) dan Lature Danö (dewa dunia bawah) dan juga sebagai dewi penghubung di antara kaum dewa dan ummat manusia. Maka boleh dikatakan bahwa agama kuno Nias termasuk agama Polythesis.
Menurut keterangan Bamböwö Laia, orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa, sebagian dari ciptaan lainnya, Manusia itu adalah "babi dewa-dewa (illah)". Bila dewa berselera memakan daging "babi" (dalam hal ini, "babi" adalah manusia) maka secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih "babi"nya. Itulah maka "babi" merupa kan unsur penting dalam kebudayaan Nias. Budaya megelitik dengan kepercayaan inilah maka babi tidak bisa dipisahkan dalam acara adat masyatakat Nias.
G.      Kesenian dan Budaya
Berbicara tentang seni, tentunya menyangkut seni rupa (seni bangunan, seni rias, seni lukisdan seni relief), seni pertunjukan (seni tari, seni drama dan seni film) dan seni suara (senivokal, instrumen dan sastra yang lisan).
(1)   Tari Maena
Sumber: http://www.azamku.com/macam-macam-tarian-tradisional-indonesia/

Tari Maena salah satu tari tradisi masyarakat nias yang selalu dilakukan pada
setiap pertemuan yang bernuansa kegembiraan dan penuh suka cita, seperti pesta
pernikahan,owasa dan sebagainya. Suatu pertemuan atau pesta yang didalamnya ada
kegiatan maena itu merupakan pertanda bahwa semua yang hadir pada pertemuan
tersebut ikut menikmati sukacita, rasa damai, suasana akrab, dan bahagia. Maena
merupakan suatu bentuk lagu yang disajikan secara berkelompok oleh pria dan wanita
sambil melakukan gerakan tari yang terdiri satu orang sebagai sanehe/penyanyi dan
tiga orang sanutuno/penyair. Seiring dengan kemajuan jaman, melodi lagu maena
sering diambil dari melodi lagu batak, karo, bahkan ada yang menggunakan lagu
poco-poco dan lagu melayu, sedangkan gerakan yang dilakukan adalah masih tetap
gerakan maena. Tari maena dijadikan sebagai ajang meminta sumbangan atau dana
pada acara pesta kawin dan acara lain.[6]
(2) Hombo Batu

Sumber:


 Tradisi “hombo batu” atau loncat batu merupakan tradisi lokal yang telah hidup secara turun-temurun pada masyarakat Pulau Nias, Sumatera Utara, di Indonesia.[7] Selain maena, tari moyo, tari baluse, tari mogaele, dan maluaya, hombo batu juga sering digolongkan sebagai bagian dari seni pertunjukkan. Walaupun harus diakui bahwadahulu, ini termasuk bagian dari pembinaan generasi muda untuk menjadi dewasasecara fisik dan mental, serta siap tampil di medan perang
H.  Ritual atauUpacara
Berbagai upacara yang ada pada masyarakat sejak manusia lahir hingga meninggal merupakan bentuk upacara inisiasi bagi pengusung budaya itu. Selain itu upacara merupakan sisitem simbol dimana individu atau kelompok masyarakat memakai simbol-simbol yang dimaksud dalam upaya mengidentifikasikan dunia mereka. adapun upacara yang umum ditemukan yaitu :
a.        Upacara Kelahiran
Adapun urutan upacara kelahiran yang dilakukan masyarakat nias pada umumnya sebagai berikut :
1. Upacara yang idenya adalah jika anak pertama lahir, maka si ayah akan pergi ke mertua untuk menyampaikan bahwa cucunya telah lahir. Si ayah akan di beri anak babi, beras, dan lainnya oleh mertua. Pada upacara ini mertua diwajibkan membuat pesta dengan memotong babi.
2. Setelah anak berumur 1-2 bulan maka anak itu akan di beri nama. Pada kegiatan ini juga dipotong seekor babi bagi sanak keluarga dan masyarakat sekitar.
3. Penyampaian kepada pendeta atau ere agar si anak seha-sehat saja dengan persembahan yang tidak terlalu besar.
4. Pada waktu-waktu yang ditentukan ere datang ke rumah untuk memberikan do’a kepada si anak dan orang tuanya menjamu ere serta ketika pulang diberikan emas atau perak.
5. Setelah berumur 3 bulan orangtua membayar jujuran kepada mertua yang dihadiri oleh ayah, ibu, dan anak yang baru lahir.
b. Upacara Perkawinan
Kedudukan seseorang dalam masyarakat di dapatkan dengan cara :
1. Tahap meminang yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunangan atau mamebola dan upacara pengambilan kantong tikar atau famuli mbola.
2. Tahapan penentuan hari pernikahan atau fangoto-bongi yang di dalamnya juga membicarakan emas perkawinan.
3. Pernikahan atau fangualu
4. Upacara menjenguk orangtua atau fanguli-nucha
c. Upacara Kematian
Dalam upacara kematian untuk orang tua dengan jenis kelamin laki-laki maka pada waktu sakit dilakukan pesta memotong babi serta mendatangkan ere. Upacara ini di tekankan pada pemberian makan terakhir bagi yang sakit.[8]
5. Upacara Pembangunan Rumah Adat
Dalam novel Manusia Langit digambarkan bahwa dulu, bagi masyarakat Nias,
rumah merupakan hal yang berharga karena tidak hanya didirikan untuk tempat
tinggal. Pendirian rumah bagi masyarakat Nias dulunya digunakan juga untuk
menunjukkan status sosial pemiliknya. Dalam pendiriannya, sebuah rumah adat
juga harus mengikuti beberapa tahapan upacara, seperti yang terlihat dalam
kutipan berikut ini.“Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di hutan, membangun rumah adatsangatlah berat bagi kami sekarang. Harus pesta-pesta, mulai dari
menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta jauh
lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk golongan
bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan waktubertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara (hlm. 12). Upacara Pembangunan Rumah Adat.





 Daftar Pustaka

·         Alphilia, Anna C. P.  Dan Hari Setiawan DNA, Kebudayaan, Persebaran pada          Suku Nias
·       Afif, Afthonul Leluhur Orang Nias dalam Cerita-cerita Lisan Nias, Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, 2010
·         Hirza, Herna ,BERBAGAI RAGAM KEBUDAYAAN NIAS
·         Tuhoni Teaumbanua KEARIFAN LOKAL DALAM KONTEKS NIAS
·        ZULIYANTI SIREGAR, AMELIA & SYAMSUDDIN, Tradisi Hombo Batu di Pulau Nias: Satu Media Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal, South-East Asian Journal for Youth, Sports & Health Education, 1(2) October 2015




[1] Herna Hirza, BERBAGAI RAGAM KEBUDAYAAN NIAS
[2] Afthonul Afif, Leluhur Orang Nias dalam Cerita-cerita Lisan Nias, Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, 2010
[4]Pdt. Dr. TuhoniTeaumbanuaKEARIFAN LOKAL DALAM KONTEKS NIAS Hal. 10
[5]Pdt. Dr. TuhoniTeaumbanuaKEARIFAN LOKAL DALAM KONTEKS NIAS Hal. 10
[6] Herna Hirza, BERBAGAI RAGAM KEBUDAYAAN NIAS
[8]Anna Alphilia C. P.  Dan Hari Setiawan DNA, Kebudayaan, Persebaran pada Suku NiasHal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar