Suku Nias
A. Letak Geografis suku Nias
Menurut letak geografis,
Kabupaten Nias terletak pada garis 0°12’-1°32’ Lintang Utara (LU) dan 97 °-98°
BujurTimur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah Sebelah
Utara :
berdasarkan dengan Pulau-pulau banyak Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
berdasarkan dengan Pulau-pulau banyak Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
- Sebelah Selatan : berbatasandenganKabupatenNias Selatan, Propinsi Sumatera Utara.
- SebelahTimur : berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara.
- Sebelah Barat : berdasarkan dengan Samudera Hindi
Suku
Nias salah satu suku yang ada di Sumatera utara terletak sebelah barat pulau sumatera indonesia,
nias memiliki wisata alam yang sangat indah sehingga keindahannya pun sampai ke manca
Negara, banyak turis asing berkunjung ke nias hanya
untuk menikmati panorama alam nias yang memukau salah satunya untuk berselancar.
ciri khas orang nias adalah berkulit putih baik laki-laki maupun perempuannya.
kebudayaan nias sangatlah indah sehingga perlu dilestarikan.[1]
Menurut
catatan Koestoro dan Wiradnyana,
Nias
adalah gugus pulau
yang jumlahnya mencapai 132 buah, membujur di lepas pantai barat Sumatera yang
menghadap Samudera Hindia. Tidak semu pulau tersebut dihuni oleh manusia. Hanya
sekitar lima pulau besar yang dihuni, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah
Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau
Pini (24,36 km²). Dari lima pulau tersebut, Pulau Nias-lah yang berpenghuni
paling padat serta menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Dilihat
dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat
bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman dan berprofesi
sebagai petani. Mereka tinggal di kampung-kampung yang dipisahkan jarak yang
cukup jauh antara satu kampung dan kampung lainnya.
Dilihat
dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari
yang digunakan, bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Ciri
dialek dalam bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat.
Menurut Reuter, bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di
ujung barat melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah
timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii.
Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan
kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh
leluhur, dan bercocok tanam.[2]
B. Asal Usul
Sumber: http://folktalesnusantara.blogspot.co.id/2013/01/siraso-sang-dewi-bibit-suku-nias.html
Para penghuni pulau ini menyebut diri mereka sebagai ono niha (orang Nias)
yang diyakini
oleh sebagian ahli
antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku tertua diNusantara. Beberapa pendapat mengatakan bahwa orang nias
berasal dari China, Thailand, Vietnam, Mongolia, atau Jepang jika dilihat dari
segi fisik. Sementara jika ditelusuri secara tradisi lisan pendapat yang lain
mengatakan suku Nias berasal dari langit, nidada. Memang sangat sulit dalam
memutuskan antara kebenaran akan misteri ini. Oleh sebab itulah untuk mendekati
guna mendapatkan kebenaran maka cara ilmiah pun akhirnya ditempuh untuk
mengetahui asal-usul suku Nias.[3]
Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya
leluhur orang Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan
yang berkembang di masyarakat Nias yang diwariskan secara turuntemurun sehingga menyerupai mitos) maupun data-data
ilmiah temuan para arkeolog.) Menurut Johannes Maria Hammerle dalam Asal-Usul Masyarakat Nias, hoho yang
berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias
adalah sowanua atau ono mbela. Ono mbela merupakan
keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya
untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang
biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah
rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain
memilih tinggal di atas pohon. Anak keturunan Ibu Sirici yang memilih tinggal
di atas pohon inilah yang kemudian
disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono
mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik. Ciri-ciri
fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa
ono mbela berjenis kelamin perempuan.
Dalam catatan Hammerle, Masyarakat Nias
meyakini terdapat tigakelompok etnis berbeda yang pernah—bahkan sampai saat ini
keturunannya dianggap masih—tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha safusi atau
kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho
di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (2) Niha sebua gazuzu, yaitu
manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup
ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua (seperti artefak-artefak yang
ditemukan di Gua Tõgi Ndrawa yang terletak di Desa Lõlõwanu Niko‘otanõ,
Kecamatan Gunung Sitoli. Dipublikasikan Badan Arkeologi Medanbahwa mereka
tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun
1150-an.), sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou).
Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; dan (3) Lani
ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens
yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih
tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa
transformasi sosial di Nias. Seiring waktu, sebagaimana diramalkan oleh teori
evolusi, hanya kelompok etnis terkuatlah yang sanggup bertahan hidup. Dengan
demikian, hanya lani ewöna yang sanggup bertahan hidup di Pulau
Nias.dikemukakanoleh Sonjaya dan Hammerle, leluhur orang Nias atau ono niha saat
ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini
dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah
penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang
sekitar 3.500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi.
C. Mitologi
Dalam
mite dijelaskan bahwa ketika leluhur Nias diturunkan dari Teteholi
Ana’a,diikut-sertakan kepada mereka segala yang dibutuhkan, yakni rumah lengkap
denganperalatannya, semua alat ukur atau timbangan (Afore = alat ukur babi,
Lauru = alattimbangan padi/beras, Fali’era = alat timbang emas); semua jenis
tanaman, binatangbinatang,termasuk pinang, gambir dan sirih. Demikian juga
segenap perhiasan, termasukbait (osali) serta berbagai macam Adu
(patung). Mite tersebut hendak mengungkapkanbahwa manusia yang diturunkan dari
Teteholi Ana’a itu telah mempersiapkan segenapkebutuhan, termasuk sistem hukum
adat dan religinya. Hal ini penting untuk menjaga hubungan di antara mereka dan
relasi dengan allah atau leluhurnya, sehingga manusiayang ada di bumi ini tetap
hidup dalam kesejahteraan. Ini sangat penting karena bagi OnoNiha keharmonisan
hubungan, apalagi dengan leluhurnya (allahnya) sangat penting agarlepas dari
berbagai penyakit dan bencana, serta memperoleh berkat dalam kehidupan di
duniaini. Mendapatkan berkat adalah tujuan hidup. Berkat yang dimaksud adalah Lakhömi,
yaknikekayaan, keturunan, dan kehormatan serta terlepas dari berbagai
kutukan. Untukmendapatkan Lakhömi maka Ono Niha menjaga hubungan dengan
para dewa dan leluhur padasatu sisi, dan dengan masyarakat pada sisi lain, dan
untuk itulah maka sepanjang hidup OnoNiha, mulai dari “sebelum kelahiran hingga
sesudah kematian” dijalani dengan ketaatanpada religi dan kepercayaannya serta
pada adat-istiadat.6
Bila
melakukan analisa tentang Adat-istiadat di selingkaran hidup di Nias tampak
sangatmenekankan bagaimana supaya sistem hidup yang dibawa di negeri asal
leluhur, dan itu harusterus dipelihara dan diwariskan, di tengah realitas
berhadapan dengan masyarakat lain dengankebudayaannya sendiri. Perjumpaan itu,
di satu sisi, memperlihatkan eksklusifisme terhadapkebudayaan yang sudah
mengakar. Oleh karena itu, kelahiran anak laki-laki dalam keluargasangat
penting, sebagai famatohu nga’õtõ (penerus keturunan); pemberian nama
menjadiurusan para pemimpin kampung; bahkan ada upacara lainnya, yakni:
mengasah gigi sebagaitanda-tanda bagi anak-anak kaum bangsawan; menjalani
ritus-ritus tertentu seperti mengasahgigi, sunat, menikah, dan menyelenggarakan
pesta-pesta jasa tahap-tahap menuju kedewasaansosial; memahami kematian sebagai
jalan untuk kembali ke negeri asal. Sikap eksklusif ituadalah oroisa (amanah),
sehingga ketika tidak dilaksanakan dapat menimbulkanamarah/kutukan dari para
leluhur.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri
mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau
Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Hukum adat Nias secara umum
disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai
kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh
peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di
wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Dalam masyarakat nias di kenal
pula adanya sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang
tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang
harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Nias merupakan sebuah pulau yang berada di sebelah barat Pulau
Sumatera,
terletak antara 0012’ – 1032’ Lintang Utara (LU) dan 970 – 980
Bujur Timur (BT). Secaraadimistratif Nias merupakan kabupaten yang termasuk
dalam Propinsi Sumatera Utara.Kabupaten Nias berbatasan dengan:
1. Sebelah Utara ialah Pulau Pulau Banyak Propinsi Daerah Istimewa
Aceh.
2. Sebelah Selatan ialah Pulau Pulau Mentawai Propinsi Sumatera
Barat.
3. Sebelah Timur ialah Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah.
. 4. Sebelah Barat ialah Samudera Hindia.
Kabupaten Nias mempunyai luas wilayah 5.625 KM2 atau 7,8 % dari
luas
Propinsi sumatera Utara, yang terdiri dari 132 buah gugusan
pulau-pulau besar dankecil.Ibukota Kabupaten Nias yaitu Gunungsitoli
berkedudukan di Pulau Nias.Banyaknya pulau yang dihuni 33 buah dan pulau yang
tidak dihuni 99 buah.
D. SistemKemasyarakatan
(sosial)
Jauh sebelum Indonesia Merdeka dan membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia,telah ada kelompok sosial di kepulauan Nias yang
terorganisir dalam sebuah desa yangdisebut Banua, dan Öri sebagai koalisi dari
beberapa desa. Penataan kehidupan dalam“Banua”, baik menyangkut system
pemerintahan, system matapencaharian, system religious,system kekerabatan dan
kemasyarakatan, dan lain sebagainya – dilakukan berdasarkan unsurdan nilai kebudayaan
setempat, yakni Kebudayaan Nias. Untuk menciptakan kehidupan yangharmoni,
damai dan sejahtera, masyarakat Nias menerapkan system stratifikasi-demokratisdengan
tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kebenaran (dengan symbol Afore (ukuranbabi),
Lauru (Ukuran beras/padi) dan Fali'era (Timbangan).8Prinsip
tersebut di atau menjiwai bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum dalamFondrakö.
Menurut S.W. Mendrofa9 bahwa Fondrakö tersebut memiliki banyak
pengertian,yakni: lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian Ono
Nihalambang senidan budaya Ono Niha, lambang Tata Hukum pemerintahan
tradisionalOno Niha dan lambangpersatuan atau hubungan sosial Ono Niha.
Menurutnya bahwa dasar Fondrakö adalah: Fo´adu(mengkultus suatu dzat
sebagai tumpuan kepercayaan, dan dinyatakan dalam menyembahAdu), Fangaso (tata
aturan pemilikan yang diatur dalam Fondrakö), Foharahao-hao (adatyang
menyangkut pribadi dan tata kemasyarakatan), Fobarahao (cara menyusun
pemerintahan)dan Böwö Masi-masi (etika saling mengasihi). Jadi Fondrakö
adalah budaya dan sekaligus"agama" yang terdapat di setiap banua atau
Öri, sehingga terdapat "keragaman" atau "variasi"Fondrakö
bagi orang Nias. Bertolak dari dasar Fondrakö tersebut di atas, maka pokok –pokokyang
dibahas, dimusyawarahkan dan disyahkan dalam Fondrakö menyangkut
adat-istiadat,yakni:
(1) huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia),
(2) huku si fakhai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atashartamilik manusia),
(3) huku sifakhai ba rorogofö sumange (hukum yang menyangkut
kehormatan manusia).
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kepulauan Nias sebagai
bagian Nusantara telah memilikikearifan lokal menata kehidupan bersama dalam
“Banua” berdasarkan pandangan hidupnya,yakni kebudayaan setempat. Namun, sistem
tersebut mengalami kegoncangan dan perobahanterutama sejak pemerintah Kolonial
Belanda, Jepang, NKRI dan juga interaksi dengan agamaagamayang datang dari
luar. Pada pihak lain, Fondrako yang justru mendapat tempat strategidalam
penataan kehidupan masyarakat, tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya, karena
padatahun 1914, pemerintah kolonial Belanda melarang melaksanakan upacara
Fondrako, dan diarahkan untuk mengikuti “Hukum Adat Kristen di Nias” yang
dibuat oleh kerjasama kolonialdan misionaris.[4]
E.
Sistem
Mata Pencaharian
Walaupun ribuan
tahun yang lalu, masyarakat menggantungkan diri pada alam (al. Buah-buahanseperti
kelapa,dll), namun pada abad-abad ke-11 dan terutama pada abad ke-17 –sudah
mulai ada kopra walaupun masih sangat terbatas. Tetapi ketika missionaris
tiba,sistem pencaharian masyarakat sudah tertata dalam 4 bidang, yakni:Berburu
(Sökha, laosi, nago, böhö). Pekerjaan ini terkait dengan sistem kepercayaan.
Mereka meyakini
bahwa pemilik binatang yang ada di hutan adalah BELA. Oleh karenanya,dalam
melaksanakan perburuan selalu didasarkan pada pemberian persembahan kepadaBela,
dan di tempat pelaksanaan ritus tersebut ditempatkan siraha sebagai simbol
illah yangdipercayai. Kegiatan berburu ini dilaksanakan secara perorangan,
tetapi umumnya dengankelompok. Dalam kegiatan kelompok ini sudah ditetapkan
dalam musyarawah adattentang sistem kepemimpinan, sistem pembagian kerja dan
sistem pembagian hasil,termasuk sistem bertabu (famoni). Sistem dan nilai
ini masih hidup sampai sekarang,dimana “jasa” setiap orang didasarkan pada
peran yang telah dilaksanakannya.Bertani. Selain kelapa yang umumnya banyak
tumbuh di tepi pantai, pada abad ke-17masyarakat Nias sudah mengenal sistem
bertani ladang17, dan baru pada abad 18/19berkembang sistem pertanian sawah.
Walaupun pada zaman dahulu penggarapan tanahdidasarkan pada kemampuan
seseorang, namun pada perkembangan kemudian ditatakepemilikan tanah dengan
sistem tanah adat. Demikian juga sistem bertanam: waktunya(mamaigi bawa dalu
mbanua18), jenis tanaman, cara mengerjakan dengan sistem falulusaatau
fatanö luo disepakati dalam sistem adat. Kegiatan bertanipun juga memiliki
dimensireligious. Masyarakat percaya bahwa padi ada pemiliknya (sibaya wakhe)
dan olehkarenanya, agar tanaman tidak dirusak oleh roh-roh jahat ataupun hama
dan tikus sertadiberkati oleh dewa pemilik tanaman, maka dilakukan ritus-ritus
(al. pesta Saho, ritus padaadu dan berbagai famoni).Beternak.
Salah satu ternak piaraan masyarakat Nias yang lama ada dan menjadi
tradisiadalah ternak babi. Ini sangat penting, terutama dalam kebutuhan
adat-istiadat, dan jugauntuk kepentingan persembahan dalam ritus-ritus agama
lama. Dahulu, cara berternak babiini dilaksanakan dengan cara mo’arö göli (memagar
kebun dengan bambu, lalu ternak babidalam jumlah banyak dilepas dalam kebun
yang telah pagar tersebut antara 4-6 bulan hingga
F.
Sistem Kepercayaan (Religi)
Sebelum
datangnya agama Kristenan, Islam, Hindu, dan Buddha ke Pulau Nias dan PulaupulauBatu,
orang Nias sebagai salah satu suku yang tergolong tua telah memiliki
sistemkepercayaan tersendiri. Para peneliti, menyebut agama asli Nias dengan
istilah “penyembahruh”20 atau Agama Pelebegu atau Penyembah Patung (Molohe
Adu).Ada juga yangmenyebut sebagai penyembah dewa-dewa.
Disini akan mengulas
secara mendalam sistem kepercayaan Nias disini, tetapi yang jelas melalui mitos
dikenal dewa-dewa dunia atas dengan nama Teteholi Ana’a (Lowalangi,Sihai, atau
di Nias Selatan dikenal Inada Samihara Luo, dan PP. Batu dikenal InadaDao),
dan dewa-dewi dunia bawah (lature danö atau Bauwa danö). Dikenal juga
dewayang sangat jahat yakni Nadaoya dan Afökha dan berbagai dewa rendah (roh halus)
yangdisebut "bekhu", yakni: Bekhu Gatua (hantu hutan), Bekhu
Dalu Mbanua (Roh yangbergentayangan di langit); Zihi (hantu laut), Simalapari
(hantu sungai), Bela (hantu yangberdiam di atas pohon, pemilik semua
binatang di hutan), Matiana, roh wanita yang matiketika melahirkan bayi,
lalu roh ini menjadi pengganggu para wanita yang mau melahirkan;Tuha
zangarofa (penguasa ikan di sungai), Salöfö, yakni roh orang yang
pandai berburu, dan berbagai roh jahat yang tinggal di gua, yang tinggal pohon
besar, sungai dan muara sungai, danOno Niha juga takut dan menghormat roh nenek
moyang atau sering disebut “malaika zatua”. Semua roh-roh halus tersebut
ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha menghindarinyadengan menaati tabu (famoni)
atau menenangkannya melalui ritus-ritus penyembahan.Berdasarkan itulah
misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif menyimpulkanbahwa poros
agama asli Nias adalah ketakutan. Segala sesuatu yang dilakukan
olehmasyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan
dengankepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai, turut mempengaruhi tindakan
mereka,sehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari baik, dan
agar merekaterhindar dari segala macam pernyakit yang diakibatkan oleh roh
jahat, mereka memakaijimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari mujur dan hari-hari
tidak mujur untuk membangunrumah, untuk menanam padi, untuk perkawinan, dan
selanjutnya. Ada jimat-jimat yangmembuat kekebalan sehingga tidak dapat
melukai, dan lain-lain. Semua ini merupakanupaya mengindari ancaman roh-roh
tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga keserasianhidup dan kelangsungan hidup
alam semesta, masyarakat Nias harus memberikanpersembahan-persembahan kepada
dewa-dewaberbagai roh jahat yang tinggal di gua, yang tinggal pohon besar,
sungai dan muara sungai, dan Ono Niha juga takut dan menghormat roh nenek
moyang atau sering disebut “malaika zatua”.
Semua roh-roh
halus tersebut ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha menghindarinyadengan
menaati tabu (famoni) atau menenangkannya melalui ritus-ritus
penyembahan.Berdasarkan itulah misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit
negatif menyimpulkanbahwa poros agama asli Nias adalah ketakutan.31 Segala
sesuatu yang dilakukan olehmasyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari
hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai, turut
mempengaruhi tindakan merekasehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus
melihat hari baik, dan agar merekaterhindar dari segala macam pernyakit yang
diakibatkan oleh roh jahat, mereka memakaijimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari
mujur dan hari-hari tidak mujur untuk membangunrumah, untuk menanam padi, untuk
perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yangmembuat kekebalan sehingga
tidak dapat melukai, dan lain-lain. Semua ini merupakanupaya mengindari ancaman
roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga keserasianhidup dan
kelangsungan hidup alam semesta, masyarakat Nias harus
memberikanpersembahan-persembahan kepada dewa-dewa.[5]
Istilah
Lowalangi dalam suku nias adalah cara penyebutan masyarakat nias sebagai nama
Allah. Selain itu ada pula yang disebut Lature Dano yaitu pembela, penjaga, dan
pemerintah Dunia bawah. Di antara dewa atas dan dewa bawah, ada lagi dewi yang
disebut Nazariya Mbanua, istilah orang Nias Selatan untuk menyebut dewi Silewe
Nazarata. Silewe Nazarata (istilah Nias Utara yang dipakai sekarang adalah dewi
penghubung di antara Lowalani (dewa dunia atas) dan Lature Danö (dewa dunia
bawah) dan juga sebagai dewi penghubung di antara kaum dewa dan ummat manusia.
Maka boleh dikatakan bahwa agama kuno Nias termasuk agama Polythesis.
Menurut
keterangan Bamböwö Laia, orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah
sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa, sebagian dari ciptaan lainnya, Manusia
itu adalah "babi dewa-dewa (illah)". Bila dewa berselera memakan
daging "babi" (dalam hal ini, "babi" adalah manusia) maka
secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih "babi"nya.
Itulah maka "babi" merupa kan unsur penting dalam kebudayaan Nias.
Budaya megelitik dengan kepercayaan inilah maka babi tidak bisa dipisahkan
dalam acara adat masyatakat Nias.
G. Kesenian dan Budaya
Berbicara
tentang seni, tentunya menyangkut seni rupa (seni bangunan, seni rias, seni
lukisdan seni relief), seni pertunjukan (seni tari, seni drama dan seni film)
dan seni suara (senivokal, instrumen dan sastra yang lisan).
(1) Tari Maena
Sumber: http://www.azamku.com/macam-macam-tarian-tradisional-indonesia/
Tari Maena
salah satu tari tradisi masyarakat nias yang selalu dilakukan pada
setiap pertemuan yang bernuansa kegembiraan dan penuh suka cita,
seperti pesta
pernikahan,owasa dan sebagainya. Suatu pertemuan atau pesta yang
didalamnya ada
kegiatan maena itu merupakan pertanda bahwa semua yang hadir pada
pertemuan
tersebut ikut menikmati sukacita, rasa damai, suasana akrab, dan
bahagia. Maena
merupakan suatu bentuk lagu yang disajikan secara berkelompok oleh
pria dan wanita
sambil melakukan gerakan tari yang terdiri satu orang sebagai
sanehe/penyanyi dan
tiga orang sanutuno/penyair. Seiring dengan kemajuan jaman, melodi
lagu maena
sering diambil dari melodi lagu batak, karo, bahkan ada yang
menggunakan lagu
poco-poco dan lagu melayu, sedangkan gerakan yang dilakukan adalah
masih tetap
gerakan maena. Tari maena dijadikan sebagai ajang meminta sumbangan
atau dana
pada acara pesta kawin dan acara lain.[6]
(2) Hombo Batu
Tradisi “hombo batu” atau loncat batu
merupakan tradisi lokal yang telah hidup secara turun-temurun pada masyarakat
Pulau Nias, Sumatera Utara, di Indonesia.[7]
Selain maena, tari moyo, tari baluse, tari mogaele, dan maluaya, hombo batu
juga sering digolongkan sebagai bagian dari seni pertunjukkan. Walaupun harus
diakui bahwadahulu, ini termasuk bagian dari pembinaan generasi muda untuk
menjadi dewasasecara fisik dan mental, serta siap tampil di medan perang
H. Ritual
atauUpacara
Berbagai upacara yang ada pada masyarakat sejak manusia lahir
hingga meninggal merupakan bentuk upacara inisiasi bagi pengusung budaya itu.
Selain itu upacara merupakan sisitem simbol dimana individu atau kelompok
masyarakat memakai simbol-simbol yang dimaksud dalam upaya mengidentifikasikan
dunia mereka. adapun upacara yang umum ditemukan yaitu :
a.
Upacara Kelahiran
Adapun urutan upacara kelahiran yang dilakukan masyarakat nias pada
umumnya sebagai berikut :
1. Upacara yang idenya adalah jika anak pertama lahir, maka si ayah
akan pergi ke mertua untuk menyampaikan bahwa cucunya telah lahir. Si ayah akan
di beri anak babi, beras, dan lainnya oleh mertua. Pada upacara ini mertua
diwajibkan membuat pesta dengan memotong babi.
2. Setelah anak berumur 1-2 bulan maka anak itu akan di beri nama.
Pada kegiatan ini juga dipotong seekor babi bagi sanak keluarga dan masyarakat
sekitar.
3. Penyampaian kepada pendeta atau ere agar si anak seha-sehat saja
dengan persembahan yang tidak terlalu besar.
4. Pada waktu-waktu yang ditentukan ere datang ke rumah untuk
memberikan do’a kepada si anak dan orang tuanya menjamu ere serta ketika pulang
diberikan emas atau perak.
5. Setelah berumur 3 bulan orangtua membayar jujuran kepada mertua
yang dihadiri oleh ayah, ibu, dan anak yang baru lahir.
b. Upacara Perkawinan
Kedudukan seseorang dalam masyarakat di dapatkan dengan cara :
1. Tahap meminang yang terdiri dari upacara mengantar emas
pertunangan atau mamebola dan upacara pengambilan kantong tikar atau famuli
mbola.
2. Tahapan penentuan hari pernikahan atau fangoto-bongi yang di
dalamnya juga membicarakan emas perkawinan.
3. Pernikahan atau fangualu
4. Upacara menjenguk orangtua atau fanguli-nucha
c. Upacara Kematian
Dalam upacara kematian untuk orang tua dengan jenis kelamin
laki-laki maka pada waktu sakit dilakukan pesta memotong babi serta
mendatangkan ere. Upacara ini di tekankan pada pemberian makan terakhir bagi
yang sakit.[8]
5. Upacara
Pembangunan Rumah Adat
Dalam novel Manusia Langit digambarkan bahwa dulu, bagi
masyarakat Nias,
rumah merupakan hal yang berharga karena tidak hanya didirikan
untuk tempat
tinggal. Pendirian rumah bagi masyarakat Nias dulunya digunakan
juga untuk
menunjukkan status sosial pemiliknya. Dalam pendiriannya, sebuah
rumah adat
juga harus mengikuti beberapa tahapan upacara, seperti yang
terlihat dalam
kutipan berikut ini.“Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di
hutan, membangun rumah adatsangatlah berat bagi kami sekarang. Harus
pesta-pesta, mulai dari
menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta
jauh
lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk
golongan
bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan
waktubertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara (hlm. 12).
Upacara Pembangunan Rumah Adat.
Daftar Pustaka
·
Alphilia, Anna C. P.
Dan Hari Setiawan DNA, Kebudayaan, Persebaran pada Suku Nias
· Afif, Afthonul Leluhur
Orang Nias dalam Cerita-cerita Lisan
Nias, Kontekstualita,
Vol. 25, No. 1, 2010
·
Hirza, Herna ,BERBAGAI RAGAM KEBUDAYAAN NIAS
·
Tuhoni Teaumbanua KEARIFAN
LOKAL DALAM KONTEKS NIAS
· ZULIYANTI SIREGAR, AMELIA
& SYAMSUDDIN, Tradisi Hombo
Batu di Pulau Nias: Satu Media Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal, South-East Asian Journal for Youth, Sports & Health Education, 1(2) October 2015
[2] Afthonul Afif, Leluhur Orang Nias dalam Cerita-cerita Lisan Nias, Kontekstualita, Vol.
25, No. 1, 2010




Tidak ada komentar:
Posting Komentar