RESPONDING PAPER
AGAMA AGAMA LOKAL
SUKU TENGGER
A.
Asal usul suku tengger
Suku Tengger adalah sebuah suku yang
tinggal di sekitar Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur Indonesia,menempati sebagian
wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Jika Anda
pernah liburan kekawasan wisata bromo maka secara otomatis anda berada di
daerah atau kawasan suku tengger bromo, mengenal lebih jauh
suku tengger bromo adalah menjadi sebuah cerita yang membuat penasaran kita,
tentunya tidak lepas dari sejarah cerita gunung bromo. yang tidak bisa dihilagkan begitu
saja karena merupakan adat dan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. terlepas
itu sebuah mitos atau apalah yang jelas menurut beberapa sumber yang kami dapat
itulah cerita yang sebenarnya. kami sempat penasaran mengapa suku tengger tidak
di beri nama desa bromo atau desa apalah, kenapa harus suku tengger
bromo.
tentunya masyakat menamai suku tengger bromo memiliki sejarah yang terkait
dengan tentang sejarah gunung bromo. yang diyakini sebagai asal usul
nama Tengger, yaitu “Teng”
akhiran nama Roro An-“teng” dan “ger”
akhiran nama dari Joko Se-“ger”.
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai
gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Upacara Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah
pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo
dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam
hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan
kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Suku Tengger Bromo adalah pemeluk agama Hindu
lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu umumnya yang memiliki candi atau
kuil sebagai tempat peribadatan, tapi untuk sa’at ini mereka hanya mempunyai
Pura satu-satunya yaitu Pura Poten Bromo yang berada tepat di lautan pasir
Gunung Bromo. Hingga kini mereka meyakini sebagai keturunan langsung dari
pengikut Kerajaan Majapahit.
Tingkat pertumbuhan penduduk suku
Tengger yang berdiam di kawasan pegunungan Tengger ini dari tahun ke
tahun tergolong rendah atau lambat. Mata pencaharian sebagian besar adalah
petani dan bahasa daerah yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari adalah
bahasa Jawa Tengger. ciri ciri masyakat suku tengger adalah jika mereka laki -
laki akan selalu memakai sarung yang di kalungkan di leher, serta memakai
pengikat kepala atau kupluk yang menjadi penutup kepala, jika para Wanita
mereka biasanya memakai Selendang yang di ikat. dan Beberapa Upacara adat suku
Tengger adalah sebagai berikut: Hari Raya Karo, Yadnya Kasada atau upacara
kasada dan Unan-Unan, upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan
seseorang, seperti: kelahiran (upacara sayut, cuplak puser, tugel kuncung),
menikah (upacara walagara), kematian (entas-entas dll), upacara adat yang
berhubungan dengan siklus pertanian, mendirikan rumah, dan gejala alam seperti
leliwet dan barikan.
B.
Tempat Kegiatan Suku Tengger Bromo
Pura Luhur Poten : Adalah pura
umat Suku Tengger yang beragama Hindu yang berada di dalam kawasan
kompleks Kaldera Tengger. Letaknya yang strategis diantara Gunung Batok dan
Gunung Bromo, membuat pemandangan Pura Poten itu sendiri menjadi sangat indah
untuk dipandang apalagi jika berada di bibir kawah bromo, menjadi sebuah
keindahan luar biasa dan tak lupa ucap syukur ke Maha Pencipta. Puncak
keramaian di Pura Poten ini adalah pada Hari Raya Yadnya Kasada, yang dihadiri oleh umat Hindu
Tengger dari seluruh penjuru TN.BTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru)
maupun umat Hindu Bali yang masih merasa dirinya keturunan dari majapahit. Maka
tidaklah mengherankan, jika pada Hari Raya Yadnya Kasada tersebut banyak
wisatawan lokal maupun manca negara yang ikut hadir untuk menyaksikan acara
Adat, Budaya dan Religi masyarakat Suku Tengger Bromo tersebut.
Gua Widodaren : merupakan Sumber air
suci Goa Widodaren adalah salah satu tempat penting dalam ritual masyarakat
Tengger. Pada bagian dalam gua terdapat tempat yang agak luas dan didalamnya
terdapat batu besar (sebagai altar) untuk menempatkan sesajian atau menaruh
nadar yang sekaligus sebagai tempat bersemedi khususnya masyarakat Tengger
untuk memohon kepada Sang Hyang Widi. Masih di sekitar gua, tepatnya di bagian
samping gua terdapat sumber air yang tak pernah kering. Menurut kepercayaan
masyarakat Tengger air dari sumber tersebut merupakan air suci yang mutlak
diperlukan bagi peribadatan mereka, sebagai contoh adalah upacara pengambilan
air suci dari Gua Widodaren (Medhak Tirta) yang dilakukan sebelum Upacara
Kasada. Disamping itu air dari gua ini dipercaya masyarakat Tengger berkhasiat
dapat membuat awet muda serta mendekatkan jodoh bagi yang lajang. lokasi Goa
Widodaren berada di balik gunung bromo atau tepatnya selatan gunung bromo arah
jam 2.
C.
Pandangan Hidup, Kepercayaan, dan Orang Tengger
Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa masyarakat
Tengger mempercayai roh-roh yang memiliki kekuatan dan membuat berbagai
sesajian untuk dipersembahkan.[1] Berikut
akan dibahas tentang kepercayaan masyarakat Tengger.
a.
Animisme
Animisme (anima = nyawa, roh), ialah suatu kepercayaan
yang meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang mengelilinginya di
rumah, di ladang, di desa, dan tempat lainnya. Roh nenek moyang bagi masyarakat
Tengger mempunyai kedudukan penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih
hidup. Di dalam animisme kita menemukan suatu sistem keagamaan yang berisi
rangkaian upacara, tanggapan, persembahan yang bersifat religius-magis. Jika
perkembangan kemudian paham animisme ini meyakini adanya “dewa-dewa tertinggi”,
maka hal ini merupakan perkembangan pemikiran tentang penciptaan dunia.
b.
Konsep Tentang Tuhan
Dalam agama Budha Tengger tidak ditemukan adanya suatu
konsep tunggal tentang Tuhan dan dewa-dewa. Menurut agama Budha Tengger untuk
daerah sekitar Ngadasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang
Betoro Guru, Sang Hyang Betoro Wisnu, dan Sang Hyang Betoro Siwo. Tidak
diketahui dengan jelas bagaimana perbedaan kosep tentang dewa dengan konsep
pemikiran tentang Sang Hyang. Hal ini terlihat pada upacara korban di gunung
Bromo pada upacara Kesodo, dimana sesajian di gunung Bromo yang merupakan
persembahan kepada Betono Promo dan kepada Dewa Kesumo.
Pengaruh agama Islam nampak pula pada konsep Tuhan
masyarakat Tengger, seperti terlihat pada mantra-mantra dengan diucapkannya
lafadz-lafadz Allahu Akbar, Dzatullah Illulah, nabi, wali dan sebagainya.[2]
c.
Sembahyang dan Semedi
Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan,
agama Buddha Tengger juga mengenal adanya tata cara sembahyang yang disebut
semedi. Praktek semedi bisa dilakukan di rumah, sanggar pemujaan dan
sebagainya. Semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung
sanksi.
Pelaksanaan semedi lebih menjurus ke arah mengheningkan
cipta kepada Gusti Kang Maha Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa.
Sebelum melakukan semedi harus mandi keramas terlebih dahulu dengan air air
yang sudah diberi mantra, ini dilakukan sebagai bentuk mensucikan diri. Semedi
dilakukan pada pagi hari dengan menghadap ke Timur dan sore hari dengan
menghadap ke Barat, sedangkan semedi bersama dilakukan di sanggar pemujaan pada
bulan purnama tanggal 15 setiap bulan sekali.
d.
Konsep Alam
Masyarakat Tengger mempercayai alam lain dibalik kehidupan
yang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka bertempat di Suralaya,
suatu tempat tertinggi yang dianggap suci. Manusia yang baik, jika ia meninggal
rohnya akan masuk surga, sebaliknya jika manusia jahat akan masuk neraka. Bagi
roh yang telah disucikan, roh itu dapat melanjutkan perjalanannya menuju surga.
e.
Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
Kehidupan masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat
yang teratur dan serasi. Ketaatan masyarakat terhadap ajaran agamanya dikenal
dengan tujuh ajaran kehidupan yang biasanya dibacakan saat hari raya Kesodo.[3]
1.
“Hong pukulan maniro sak sampune demerek ing sasi
kasodo maningo in temah” artinya, Yang Maha Kuasa pelindung seluruh makhluk
mengetahui amal perbuatan manusia, memberikan berkahnya pada bulan
Kesodo.
2.
“Milango ing sarining potro kanggo milar pajenengan
ing manah” artinya, hendaklah manusia berbuat amal kebajikan, merubah
perbuatan buruk menjadi baik, memperhatikan gerak hati yang bersih.
3.
“Kang adoh pinerekaken, kang parek tinariko nang
aron-aron” artinya, orang yang jauh dari kebaikan supaya di peringatkan
untuk berbuat baik dan diajak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.
“Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo”
artinya, kerjakanlah perbuatan yang terpuji supaya selamat jiw dan raga dan
mendapat ridho Tuhan.
5.
“Jiwo raga sinusupan babahan werno songo” artinya,
hendaklah jiwa raga terjaga segala sesuatu yang memasuki lubang sembilan pada
manusia.
6.
“Ngelingono jiwo premono banimbobo banyu karahayuan”
artinya, hendaklah manusia mempunyai hati yang bersih (welas asih) dan berbuat
kasih sayang terhadap semua makhluk.
7.
“Deniru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rabayu
palinggibane titi yang lurab, lurab keyabi dukun sagunge anak putu adoyo puluh”
artinya, bila petunjuk-petunjuk tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dengan jiwa mantap oleh seluruh lapisan masyarakat, maka manusia setelah mati
akan mendapatkan ketentraman dan kebahagian jiwa yang disebut sebagai mati
sempurna.
Selain ajaran tujuh tentang kehidupan, masyarakat Tengger
memiliki acuan hidup yang disebut Tujuh Petunjuk Tentang Kasih
Sayang. Oleh karena itu masyarakat Tengger dikenal mempunyai sifat yang halus,
penolong, kasih sayang, dan sikap gotong royong.[4]
[1] Ayu Sutarto, Kamus
Budaya dan Religi Tengger, (Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember,
2008), h.62.
[2] Neng Darol Afia, Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI, 1997), h. 47.
[3] Neng Darol Afia, Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI, 1997), h. 49-50.
[4] Neng Darol Afia, Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen
Agama RI, 1997), h.50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar