Senin, 05 Juni 2017

AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER



RESPONDING PAPER
AGAMA AGAMA LOKAL
SUKU TENGGER

A.    Asal usul suku tengger
Suku Tengger  adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur Indonesia,menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Jika Anda pernah liburan kekawasan wisata bromo maka secara otomatis anda berada di daerah atau kawasan suku tengger bromo, mengenal lebih jauh suku tengger bromo adalah menjadi sebuah cerita yang membuat penasaran kita, tentunya tidak lepas dari sejarah cerita gunung bromo. yang tidak bisa dihilagkan begitu saja karena merupakan adat dan budaya yang dimiliki oleh suatu daerah. terlepas itu sebuah mitos atau apalah yang jelas menurut beberapa sumber yang kami dapat itulah cerita yang sebenarnya. kami sempat penasaran mengapa suku tengger tidak di beri nama desa bromo atau desa apalah, kenapa harus suku tengger bromo. tentunya masyakat menamai suku tengger bromo memiliki sejarah yang terkait dengan tentang sejarah gunung bromo. yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu “Teng”       
            akhiran nama Roro An-“teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-“ger”.
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Upacara Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Suku Tengger Bromo adalah pemeluk agama Hindu lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu umumnya yang memiliki candi atau kuil sebagai tempat peribadatan, tapi untuk sa’at ini mereka hanya mempunyai Pura satu-satunya yaitu Pura Poten Bromo yang berada tepat di lautan pasir Gunung Bromo. Hingga kini mereka meyakini sebagai keturunan langsung dari pengikut Kerajaan Majapahit.
Tingkat pertumbuhan penduduk suku Tengger yang berdiam di kawasan pegunungan Tengger ini dari tahun ke tahun tergolong rendah atau lambat. Mata pencaharian sebagian besar adalah petani dan bahasa daerah yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari adalah bahasa Jawa Tengger. ciri ciri masyakat suku tengger adalah jika mereka laki - laki akan selalu memakai sarung yang di kalungkan di leher, serta memakai pengikat kepala atau kupluk yang menjadi penutup kepala, jika para Wanita mereka biasanya memakai Selendang yang di ikat. dan Beberapa Upacara adat suku Tengger adalah sebagai berikut: Hari Raya Karo, Yadnya Kasada atau upacara kasada dan Unan-Unan, upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang, seperti: kelahiran (upacara sayut, cuplak puser, tugel kuncung), menikah (upacara walagara), kematian (entas-entas dll), upacara adat yang berhubungan dengan siklus pertanian, mendirikan rumah, dan gejala alam seperti leliwet dan barikan.
B.     Tempat Kegiatan Suku Tengger Bromo
Pura Luhur Poten : Adalah pura umat Suku Tengger yang beragama Hindu yang berada di dalam kawasan kompleks Kaldera Tengger. Letaknya yang strategis diantara Gunung Batok dan Gunung Bromo, membuat pemandangan Pura Poten itu sendiri menjadi sangat indah untuk dipandang apalagi jika berada di bibir kawah bromo, menjadi sebuah keindahan luar biasa dan tak lupa ucap syukur ke Maha Pencipta. Puncak keramaian di Pura Poten ini adalah pada Hari Raya Yadnya Kasada, yang dihadiri oleh umat Hindu Tengger dari seluruh penjuru TN.BTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) maupun umat Hindu Bali yang masih merasa dirinya keturunan dari majapahit. Maka tidaklah mengherankan, jika pada Hari Raya Yadnya Kasada tersebut banyak wisatawan lokal maupun manca negara yang ikut hadir untuk menyaksikan acara Adat, Budaya dan Religi masyarakat Suku Tengger Bromo tersebut.
Gua Widodaren : merupakan Sumber air suci Goa Widodaren adalah salah satu tempat penting dalam ritual masyarakat Tengger. Pada bagian dalam gua terdapat tempat yang agak luas dan didalamnya terdapat batu besar (sebagai altar) untuk menempatkan sesajian atau menaruh nadar yang sekaligus sebagai tempat bersemedi khususnya masyarakat Tengger untuk memohon kepada Sang Hyang Widi. Masih di sekitar gua, tepatnya di bagian samping gua terdapat sumber air yang tak pernah kering. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger air dari sumber tersebut merupakan air suci yang mutlak diperlukan bagi peribadatan mereka, sebagai contoh adalah upacara pengambilan air suci dari Gua Widodaren (Medhak Tirta) yang dilakukan sebelum Upacara Kasada. Disamping itu air dari gua ini dipercaya masyarakat Tengger berkhasiat dapat membuat awet muda serta mendekatkan jodoh bagi yang lajang. lokasi Goa Widodaren berada di balik gunung bromo atau tepatnya selatan gunung bromo arah jam 2.
C.    Pandangan Hidup, Kepercayaan, dan Orang Tengger
       Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa masyarakat Tengger mempercayai roh-roh yang memiliki kekuatan dan membuat berbagai sesajian untuk dipersembahkan.[1] Berikut akan dibahas tentang kepercayaan masyarakat Tengger.
a.       Animisme
Animisme (anima = nyawa, roh), ialah suatu kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang mengelilinginya di rumah, di ladang, di desa, dan tempat lainnya. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih hidup. Di dalam animisme kita menemukan suatu sistem keagamaan yang berisi rangkaian upacara, tanggapan, persembahan yang bersifat religius-magis. Jika perkembangan kemudian paham animisme ini meyakini adanya “dewa-dewa tertinggi”, maka hal ini merupakan perkembangan pemikiran tentang penciptaan dunia.
b.      Konsep Tentang Tuhan
Dalam agama Budha Tengger tidak ditemukan adanya suatu konsep tunggal tentang Tuhan dan dewa-dewa. Menurut agama Budha Tengger untuk daerah sekitar Ngadasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang Hyang Betoro Wisnu, dan Sang Hyang Betoro Siwo. Tidak diketahui dengan jelas bagaimana perbedaan kosep tentang dewa dengan konsep pemikiran tentang Sang Hyang. Hal ini terlihat pada upacara korban di gunung Bromo pada upacara Kesodo, dimana sesajian di gunung Bromo yang merupakan persembahan kepada Betono Promo dan kepada Dewa Kesumo.
Pengaruh agama Islam nampak pula pada konsep Tuhan masyarakat Tengger, seperti terlihat pada mantra-mantra dengan diucapkannya lafadz-lafadz Allahu Akbar, Dzatullah Illulah, nabi, wali dan sebagainya.[2]
c.       Sembahyang dan Semedi
Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan, agama Buddha Tengger juga mengenal adanya tata cara sembahyang yang disebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan di rumah, sanggar pemujaan dan sebagainya. Semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sanksi.
Pelaksanaan semedi lebih menjurus ke arah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maha Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa. Sebelum melakukan semedi harus mandi keramas terlebih dahulu dengan air air yang sudah diberi mantra, ini dilakukan sebagai bentuk mensucikan diri. Semedi dilakukan pada pagi hari dengan menghadap ke Timur dan sore hari dengan menghadap ke Barat, sedangkan semedi bersama dilakukan di sanggar pemujaan pada bulan purnama tanggal 15 setiap bulan sekali.
d.      Konsep Alam
Masyarakat Tengger mempercayai alam lain dibalik kehidupan yang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka bertempat di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci. Manusia yang baik, jika ia meninggal rohnya akan masuk surga, sebaliknya jika manusia jahat akan masuk neraka. Bagi roh yang telah disucikan, roh itu dapat melanjutkan perjalanannya menuju surga.
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
Kehidupan masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang teratur dan serasi. Ketaatan masyarakat terhadap ajaran agamanya dikenal dengan tujuh ajaran kehidupan yang biasanya dibacakan saat hari raya Kesodo.[3]
1.         Hong pukulan maniro sak sampune demerek ing sasi kasodo maningo in temah” artinya, Yang Maha Kuasa pelindung seluruh makhluk mengetahui amal perbuatan manusia, memberikan berkahnya pada bulan Kesodo. 
2.         Milango ing sarining potro kanggo milar pajenengan ing manah” artinya, hendaklah manusia berbuat amal kebajikan, merubah perbuatan buruk menjadi baik, memperhatikan gerak hati yang bersih.
3.         Kang adoh pinerekaken, kang parek tinariko nang aron-aron” artinya, orang yang jauh dari kebaikan supaya di peringatkan untuk berbuat baik dan diajak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.         Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo” artinya, kerjakanlah perbuatan yang terpuji supaya selamat jiw dan raga dan mendapat ridho Tuhan.
5.         Jiwo raga sinusupan babahan werno songo” artinya, hendaklah jiwa raga terjaga segala sesuatu yang memasuki lubang sembilan pada manusia.
6.         Ngelingono jiwo premono banimbobo banyu karahayuan” artinya, hendaklah manusia mempunyai hati yang bersih (welas asih) dan berbuat kasih sayang terhadap semua makhluk.
7.         Deniru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rabayu palinggibane titi yang lurab, lurab keyabi dukun sagunge anak putu adoyo puluh” artinya, bila petunjuk-petunjuk tersebut dilaksanakan dengan  sebaik-baiknya dengan jiwa mantap oleh seluruh lapisan masyarakat, maka manusia setelah mati akan mendapatkan ketentraman dan kebahagian jiwa yang disebut sebagai mati sempurna.
Selain ajaran tujuh tentang kehidupan, masyarakat Tengger memiliki acuan  hidup yang disebut Tujuh Petunjuk Tentang Kasih Sayang. Oleh karena itu masyarakat Tengger dikenal mempunyai sifat yang halus, penolong, kasih sayang, dan sikap gotong royong.[4]






[1] Ayu Sutarto, Kamus Budaya dan Religi Tengger, (Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember, 2008), h.62.
[2] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1997), h. 47.
[3] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1997), h. 49-50.
[4] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1997), h.50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar