Responding Peper
SUKU MENTAWAI
A.
Sistem
Kepercayaan Orang Mentawai
Mayoritas orang Mentawai memeluk
agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam atau Bahai. Walaupun
demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang
asli, ialah Arat Bulungan. Arat berarti "adat" dan bulungan berasal
dari kata bulu (z daun).
Dalam religinya, bukan hanya
manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air
terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada
berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara,
dan hutan belantara. Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere
terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat
tidur, oranqnya merupakan mimpinya
Bila jiwa keluar dari tubuh bisa
terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit,
dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang,
maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan
menjadi ketsat (ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan
magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang
tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang
itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti
oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain,
agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini
diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di
itu pitok itu juga bisa tempat bersembunyi mencari mangsanya.
Seperti dalam banyak sistem religi
di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai nyepi, atau masa
menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang
dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga
inti, dan biasanya
menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti
membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada
anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam
rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum
dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit
menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang
mengakibatkan banyak orang mati. Apabila keluarga anggota suatu menjalankan lia
atau punen, mereka tak boleh bekerja.
Apabila
keluarga anggota suatu menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja.
Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi
kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup
daun. Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang
sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa.
Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa. Punen yang berlangsung lama
adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun.
Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.
Erat kaitannya dengan konsep lia
dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan,
terutama dalam masa-masa yang suci terutama dalam masa-masa yang suci
(atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum
dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau
tulon tersebut
di atas. Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma,
harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus
diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari
benda yang lama tidak marah dan agar "mereka" dapat berkenalan. Tanpa
upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan
kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya
dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh
bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda
yang ada di dalam uma harus diperciki air
yang bermantera.
Benda-benda Perantara Antara Dunia
Gaib dan Nyata Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di
dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan
dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal
yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan
(2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau
bajou dalam alam
sekitar manusia.
Baik segala macam ilmu gaib
produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau
ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan
penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib
destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, bisa
semuanya dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. llmu gaib
produktif dan tersebut di atas. llmu gaib produktif dan protektif yang biasanya
merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib
destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh
pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di
dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan
orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam
benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat).
Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu
kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan
sejumlah daun- daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang
disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau
sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.
Sumber : Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar